01 Juni 2005

Kenaikan Harga Rokok

Harga rokok semakin mahal. Mulai 1 Juli 2005, pemerintah resmi menaikkan harga eceran rokok sebesar 20 persen. Jelas itu kenaikan yang terbilang signifikan -- dan karena itu kalangan industri rokok pun sempat menyatakan keberatan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga rokok ini.

Tapi kita ragu bahwa kenaikan harga eceran rokok serta-merta akan menurunkan permintaan atas komoditas tersebut. Pengalaman selama ini gamblang menunjukkan, kenaikan harga tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi rokok.

Kalangan perokok nyaris tak peduli terhadap kenaikan harga rokok. Meski semakin mahal dibanding sebelumnya, mereka tetap saja mengonsumsi rokok. Kalaupun kenaikan harga menurunkan permintaan, itu biasanya hanya berlangsung beberapa saat.

Karena itu, kenaikan harga rokok kali ini tak bakal membuat industri rokok bertumbangan. Mereka juga kemungkinan tak akan dibuat terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sebagaimana mereka asumsikan. Percayalah, industri rokok beserta segala komponennya akan tetap baik-baik saja.

Dari sisi pemerintah, kenaikan harga rokok ini juga lagi-lagi menjadi berkah amat berarti: penerimaan negara, khususnya cukai, niscaya meningkat signifikan. Dalam konteks ini, pemerintah jelas tak perlu terlampau risau atau pusing untuk mengejar target penerimaan cukai. Bahkan meski target penerimaan cukai ini meningkat signifikan -- dari semula Rp 28,9 triliun pada APBN 2005 menjadi Rp 31,4 triliun pada APBN Perubahan (APBNP) 2005, pemerintah boleh tetap optimistis.

Tapi justru itu, niat pemerintah menjadikan kenaikan harga rokok kali ini sekaligus sebagai upaya memenuhi konvensi tentang pengendalian konsumsi rokok internasional (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) tampaknya tak banyak bermakna. Bahkan kita menangkap kesan bahwa niat itu sekadar basa-basi: mungkin agar pemerintah terlihat cukup responsif terhadap gerakan antirokok yang kian gencar disuarakan dunia internasional sekarang ini.

Kesan itu gamblang terlihat Selasa kemarin yang resmi merupakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Pemerintah -- juga berbagai komponen masyarakat -- nyaris tak menunjukkan kegiatan konkret guna mengisi Hari Tanpa Tembakau Dunia ini. Bukankah itu bukti tak terbantahkan bahwa komitmen pemerintah terhadap gerakan antirokok memang baru sekadar basa-basi?

Bukti lain, pemerintah belum juga menunjukkan gelagat segera meratifikasi FCTC. Tentang itu, Menkeu Jusuf Anwar tempo hari menyiratkan sikap enggan pemerintah -- karena tidak siap kehilangan penerimaan cukai rokok!

Memang, sebagai alternatif penerimaan pemerintah, cukai rokok adalah tambang yang tak pernah kering. Karena itu, bagi pemerintah, penerimaan cukai terlampau berharga jika harus hilang begitu saja hanya karena meratifikasi konvensi FCTC.

Namun, bagi kita sendiri, nilai kerugian yang ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok di negeri kita yang praktis tanpa kendali itu jauh lebih besar dibanding rata-rata penerimaan cukai yang masuk ke kas negara. Menurut survei kesehatan rumah tangga, pada tahun 2002 saja 73 persen penduduk Indonesia atau sekitar 141 juta orang merupakan perokok aktif. Lalu rata-rata 57.000 orang per tahun meninggal karena penyakit yang disebabkan asap rokok, seperti jantung, paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorok, juga stroke.

Jadi, haruskah kesehatan masyarakat tergadai oleh penerimaan cukai?***
Jakarta, 1 Juni 2005

Tidak ada komentar: