04 Juni 2005

Kesepakatan RI-Jepang

Lawatan Presiden Yudhoyono ke Jepang punya makna tersendiri: bisa diharapkan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi kedua negara. Ini terutama karena lawatan tersebut membuat kedua negara berhasil menyepakati langkah ke arah pembentukan Economic Partnership Agreement (EPA). Bahkan negosiasi tentang itu sudah pula disepakati: paling lambat mulai Juli 2005.

Bagi kita, EPA sungguh menjanjikan. Kita tahu, Jepang adalah salah satu raksasa ekonomi dunia. Justru itu, lewat EPA, kegiatan ekonomi nasional dimungkinkan terkatrol bergulir lebih kencang seiring dinamika ekonomi Jepang. Namun di lain pihak, tentu, Jepang sendiri memetik manfaat ekonomi tidak kecil pula dari kita.

Menurut hasil studi Indonesia-Jepang, kerja sama ekonomi akan menguntungkan kedua negara. Arus perdagangan barang dan jasa, tenaga kerja, juga aliran modal di antara kedua negara bisa mengalir deras.

Selama ini, memang, Jepang sudah merupakan mitra utama kita dalam perdagangan dan investasi. Bahkan dalam bidang investasi, Jepang termasuk lima besar. Karena itu pula, tingkat kemajuan ekonomi kita saat ini sedikit banyak terkait dengan peran Jepang secara tidak langsung.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, perkembangan hubungan ekonomi kedua negara mulai sedikit berubah. Seiring perkembangan situasi dan kondisi regional -- di samping karena pergeseran iklim investasi di dalam negeri sendiri -- Jepang tak lagi menempatkan Indonesia sebagai fokus utama dalam mengembangkan kemitraan di bidang ekonomi. Jepang kini sudah mulai berpaling ke negara-negara tetangga, seperti Cina atau Vietnam.

Itu tidak hanya dalam konteks investasi baru. Bahkan sebagian investasi Jepang yang sudah lama mapan di Indonesia pun diboyong pindah atau direlokasi ke negara lain. Sony Corp, misalnya, beberapa tahun lalu memindahkan salah satu pabrik produk mereka di Indonesia ke negara tetangga. Belakangan sejumlah industri lain mengambil langkah serupa. Terakhir, giliran pihak Mitsubishi mengumumkan keputusan mereka memindahkan pabrik kendaraan keluarga ke negeri jiran.

Kenyataan itu memang tidak spesifik ditunjukkan kalangan investor Jepang. Tapi karena selama ini Jepang merupakan mitra utama ekonomi Indonesia, perkembangan tadi sungguh mencemaskan. Jika pergeseran orientasi Jepang dalam konteks investasi dan perdagangan ini terus berlangsung, dampaknya terhadap ekonomi nasional jelas bisa amat signifikan. Yang sudah pasti saja, lapangan kerja di dalam negeri niscaya jadi menyempit. Itu, pada gilirannya, membuat masalah pengangguran bisa menjadi bom waktu.

Karena itu, sekali lagi, kesepakatan Indonesia-Jepang memulai langkah ke arah pembentukan EPA sungguh menjanjikan. Kelak, melalui EPA, hubungan ekonomi kedua negara bisa kembali istimewa seperti selama tiga dasawarsa lalu. Bahkan, bila menilik ruang lingkup EPA yang menyentuh aspek-aspek strategis -- notabene merupakan titik-titik lemah kita selama ini, semisal kebijakan persaingan -- hubungan tersebut mungkin bisa lebih istimewa lagi: mengondisikan ekonomi nasional turut menjadi pemain aktif dalam kancah globalisasi.

Tapi, tampaknya, implementasi EPA sendiri kelak tak serta-merta bergulir mulus. Paling tidak, kalangan pemilik modal di Jepang masih harus yakin dulu bahwa iklim investasi di Indonesia sudah benar-benar kondusif -- termasuk soal keamanan. Bahkan jika setelah di Tentena (Sulteng) ternyata teror bom masih terus berledakan, EPA niscaya tak punya makna sama sekali.***
Jakarta, 4 Juni 2005

Tidak ada komentar: