10 Desember 2005

Impor Beras, Kesalahpahaman?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya meyakinkan masyarakat bahwa impor beras, yang sekarang ini dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog, bukan nista. Langkah itu dilakukan, katanya, semata dalam rangka mengamankan stok beras nasional.

Yudhoyono menekankan, dengan amannya stok beras nasional, pemerintah bisa lebih mudah melakukan langkah-langkah pengamanan masyarakat manakala terjadi kondisi darurat menyangkut masalah pangan -- misalnya gagal panen. Karena itu, Yudhoyono meminta agar masyarakat tidak salah paham terhadap keputusan pemerintah mengimpor beras sekarang ini.

Kita setuju bahwa stok pangan nasional, khususnya beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat kita, memang harus senantiasa terjaga aman. Adalah jelas berbahaya jika stok pangan nasional sampai tekor. Bahkan stabilitas sosial-ekonomi maupun sosial-politik nasional pun bisa goyah jika stok pangan di dalam negeri terkuras hingga jauh di bawah kondisi aman.

Karena itu, kita juga sependapat bahwa stok pangan nasional tak boleh dibiarkan susut berlama-lama. Langkah-langkah pengamanan -- termasuk melalui impor -- harus segera dilakukan pemerintah.

Tapi yang jadi soal, sejauh ini kita belum memperoleh penjelasan meyakinkan bahwa stok pangan (beras) nasional -- khususnya di tangan Perum Bulog -- sudah menyusut drastis, dan karena itu perlu segera diatasi melalui langkah impor. Keterangan pihak Bulog tempo hari -- bahwa stok beras di tangan mereka pada posisi September 2005 sudah menyusut drastis dari semula 1,1 juta ton menjadi tinggal 900.000 ton -- sungguh terasa janggal.

Betapa tidak, karena -- masih menurut keterangan Bulog -- penyusutan 200.000 ton beras itu terjadi hanya dalam rentang waktu sebulan. Padahal antara Agustus-September 2005 sama sekali tak terjadi kondisi luar biasa -- sebutlah bencana alam dahsyat -- yang tiba-tiba memaksa Bulog banyak menguras cadangan beras di gudang-gudang mereka.

Kalaupun benar bahwa stok beras di tangan Bulog ini menyusut 200.000 ton, kenapa izin impor yang dikeluarkan pemerintah sendiri hanya sekitar 70.000 ton? Bukankah kalau hanya diisi 70.000 ton stok beras nasional masih tidak aman -- karena masih tekor sekitar 130.000 ton, sementara pemerintah maupun Bulog tidak melakukan upaya lain?

Jadi, alasan impor beras sekarang ini sungguh tidak meyakinkan. Terlebih jika pernyataan pihak Deptan benar: produksi gabah nasional tahun ini terbilang cukup besar. Deptan menyebutkan, produksi gabah kering giling tahun ini diperkirakan mencapai 53 juta ton atau setara 31,2 juta ton beras.

Memang dibanding produksi gabah nasional tahun lalu, angka itu menunjukkan penurunan sekitar 2 persen. Namun demikian, penurunan tersebut tak serta-merta membuat stok pangan nasional menjadi kritis. Bahkan dengan angka produksi 31,2 juta ton beras, kita sebenarnya masih surplus -- karena konsumsi beras nasional kini mencapai sekitar 30,6 juta ton. Ditambah stok awal di tangan Bulog, cadangan beras nasional ini jelas lumayan melimpah.

Karena itu, jika benar stok di tangan Bulog sudah menipis, kenapa impor serta-merta menjadi pilihan? Kenapa Bulog tidak mengoptimalkan upaya menutup stok yang sudah berkurang melalui pengadaan beras di dalam negeri? Bukankah langkah Bulog melakukan pengadaan beras di dalam negeri justru berdampak positif terhadap kepentingan petani kita?

Sangat boleh jadi, Bulog bukan tidak berkeinginan mengoptimalkan pengadaan beras di dalam negeri. Tetapi langkah ke arah itu mungkin amat sulit mereka ayunkan karena -- seperti kata Mentan Anton Apriantono -- harga gabah di tingkat petani sekarang ini relatif jauh di atas harga patokan pemerintah (HPP). Di lain pihak, harga beras impor sendiri relatif murah.

Jika benar begitu duduk soalnya, jelas sudah bahwa ihwal impor beras bukan soal beralasan atau tidak. Impor beras sekarang ini lebih merupakan soal kalkulasi untung rugi di pihak Bulog. Ini rasanya bukan kesalahpahaman sebagaimana kata Presiden Yudhoyono karena memang tak sulit dipahami!***
Jakarta, 10 Desember 2005