30 Desember 2005

Mission Impossible di Pundak Bulog

Upaya pengamanan stok beras nasional di tangan Perum Bulog dengan memprioritaskan pengadaan di dalam negeri memang strategis. Pertama, karena prioritas itu jelas langsung menyentuh kepentingan petani lokal. Paling tidak, harga gabah di tingkat petani tidak terkondisi tertekan ke level yang membuat mereka harus menanggung rugi. Pada gilirannya, itu amat bisa diharapkan membuat petani tetap bergairah melakoni usaha budidaya padi.

Kedua, pengadaan beras di dalam negeri tidak membuat Bulog sebagai institusi yang mengemban tugas itu harus menyedot devisa. Dengan kata lain, berbeda dengan impor, pengadaan beras di dalam negeri tidak mengurangi cadangan devisa.

Tetapi kebijakan pemerintah memprioritaskan pengadaan beras di dalam negeri sekarang ini -- dalam rangka mengembalikan stok di tangan Perum Bulog ke level aman sebanyak 1 juta ton -- terasa tidak meyakinkan. Kebijakan tersebut seperti main-main alias tidak sungguh-sungguh.

Kesan tidak sungguh-sungguh itu demikian kental karena waktu yang tersedia sangat mepet. Jika benar pemerintah memberi tenggat bagi Bulog untuk melakukan pengadaan beras di dalam negeri ini hingga 5 Januari 2006, berarti waktu yang tersedia praktis hanya seminggu -- terhitung sejak Rabu lalu (28/12), saat pemerintah menggariskan kebijakan itu.

Tidak jelas, apa yang menjadi pertimbangan sehingga pemerintah menetapkan 5 Januari 2006 sebagai tenggat pengadaan beras di dalam negeri ini. Yang pasti, beras yang harus diserap Bulog tidak terbilang sedikit. Konon, stok beras di tangan Bulog kini mencapai sekitar 868.000 ton.

Itu berarti, untuk mengembalikan stok ke level aman sebanyak 1 juta ton sebagaimana disebut pemerintah, beras yang harus dibeli Bulog ini mencapai sekitar 132.000 ton. Apakah mungkin Bulog mampu menyerap beras sebanyak itu hanya dalam tempo sepekan?

Memang benar, Bulog memiliki jaringan hingga ke berbagai pelosok daerah -- plus barisan rekanan yang sudah berpengalaman terlibat dalam pengadaan beras di dalam negeri. tetapi, bagaimanapun itu bukan satu-satunya faktor yang bisa menjamin pengadaan beras di dalam negeri bisa sukses. Jangan lupa, persediaan beras di tangan masyarakat saat ini sebagian besar masih berupa gabah.

Artinya, sebelum Bulog bisa efektif melakukan penyerapan, masih dibutuhkan proses dan waktu tersendiri untuk mengubah gabah menjadi beras.

Di sisi lain, dalam menyerap beras di masyarakat ini pun, Bulog harus selektif. Hanya beras yang memenuhi syarat mutu pecahan (broken) yang mungkin bisa diserap. Untuk itu, jelas dibutuhkan proses dan waktu tersendiri pula.

Kalaupun faktor-faktor teknis itu diabaikan, apa mungkin Bulog mau membeli beras dengan harga yang sekarang ini relatif jauh di atas patokan harga pembelian pemerintah (HPP)? Rasanya tidak! Bulog jelas tak bakal sudi menanggung rugi dalam melakukan pengadaan beras di dalam negeri ini. Berbeda dengan era dulu, Bulog kini tidak lagi menggenggam dana super murah berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dana di tangan Bulog kini merupakan pinjaman komersial biasa.

Justru itu, sama sekali tidak nalar kalau Bulog sampai mau memanfaatkan dana mahal untuk proyek yang jelas-jelas bakal membuat mereka merugi. Terlebih lagi, pemerintah sendiri tidak mau menanggung risiko itu dengan mengucurkan dana tombokan.

Walhasil, kebijakan pemerintah memprioritaskan pengadaan beras di dalam negeri sebagai langkah pengamanan stok di tangan Bulog ini lebih terasa sebagai misi yang mustahil (mission impossible). Kebijakan tersebut amat terang-benderang tidak sungguh-sungguh. Cuma basa-basi.

Tetapi, boleh jadi, kebijakan itu secara sistematis memang dikondisikan sebagai mission impossible. Paling tidak, itu tecermin lewat sikap pemerintah mematok tenggat pengadaan beras dalam negeri demikian mepet seraya tetap membuka peluang bagi Bulog untuk mengimpor beras. Bulog dimungkinkan melakukan impor beras jika hingga tenggat 5 Januari 2006 hasil pengadaan di dalam negeri gagal mengembalikan stok beras ke level 1 juta ton.

Jadi, lupakan bahwa kepentingan petani akan terselamatkan. Lupakan pula bahwa pengamanan stok pangan nasional di tangan Bulog sekarang ini tidak menyedot devisa. Lupakan!***
Jakarta, 30 Desember 2005