29 September 2005

Manajemen Informasi Buruk

Melalui proses pemilihan suara (voting), Selasa malam lalu, sidang paripurna DPR akhirnya menyetujui alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 89,2 triliun dalam APBNP II 2005. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan.

Kenaikan itu sendiri, seperti sudah diwacanakan pemerintah, hampir pasti diputuskan pada 1 Oktober 2005. Yang belum jelas adalah besaran kenaikannya. Tapi tempo hari pemerintah sudah memberi isyarat bahwa besaran rata-rata kenaikan harga BBM ini minimal 50 persen.

Karena itu, seperti kata Presiden Yudhoyono, bagi pemerintah kenaikan harga BBM ini merupakan pilihan pahit. Pahit, karena kenaikan tersebut sulit sekali dihindari dan berimplikasi menyulitkan masyarakat.

Kenaikan sulit dihindari karena harga minyak di pasar dunia melambung tinggi. Akibatnya, subsidi BBM jadi membengkak luar biasa dan amat membebani APBN. Jika subsidi BBM tidak diciutkan, APBN menjadi tidak sehat. Menurut hitungan kasar, sekitar sepertiga anggaran praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi di sisi lain, kenaikan harga BBM jelas berimplikasi sangat serius terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Kenaikan harga BBM membuat daya beli masyarakat menurun. Justru itu, sebagaimana juga diakui pemerintah, jumlah penduduk miskin jadi membengkak. Di lain pihak, jumlah pengangguran juga semakin menggunung -- karena banyak perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi dan rasionalisasi.

Karena itu, kenaikan harga BBM ini membuat pemerintah menjadi tidak populer. Pemerintah jadi terkesan kurang peduli terhadap derita berat yang harus ditanggung rakyat. Terlebih karena Maret lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM ini.

Bagi wakil-wakil rakyat di parlemen, kenaikan harga BBM juga tidak kurang terasa pahit. Persetujuan mereka terhadap opsi pengurangan subsidi BBM, yang berimplikasi harga komoditas tersebut harus dinaikkan, membuat rakyat kecewa dan merasa dikhianati. Rakyat menilai mereka sama dan sebangun dengan pemerintah: kurang peduli terhadap implikasi sosial-ekonomi kenaikan harga BBM di tengah masyarakat.

Jadi, kenaikan harga BBM ini sungguh terasa sangat pahit. Semua pihak dibuat tidak happy oleh keputusan tentang itu. Semua pihak merasa prihatin.

Tapi ada yang lebih memrihatinkan lagi: proses menuju kenaikan harga BBM ini memakan ongkos sangat mahal. Di banyak daerah, BBM menjadi sulit diperoleh. Bersamaan dengan itu, harga komoditas tersebut melambung tak terkendali. Di sisi lain, harga aneka barang dan jasa pun ikut-ikutan meroket.

Jadi, sebelum harga BBM resmi diputuskan, masyarakat sudah lebih dulu menanggung derita: kehidupan sehari-hari semakin sulit. Kondisi tersebut niscaya semakin parah setelah pemerintah resmi memutuskan kenaikan harga BBM.

Kenyataan itu merupakan bukti tak terbantahkan bahwa manajemen informasi pemerintah demikian buruk. Pemerintah tidak menempatkan tuntutan kondisonal mengenai kenaikan harga BBM ini sebagai informasi yang harus dikelola ekstra hati-hati agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Tapi apa yang terjadi, pemerintah justru membiarkan tuntutan kondisional itu berkembang menjadi wacana berkepanjangan. Demikian serunya wacara itu hingga mewujud menjadi momok yang membuat masyarakat dilanda resah dan panik.

Jelas, itu adalah harga atas sikap pemerintah yang tak berani mengambil keputusan secara cepat. Seharusnya, ihwal kenaikan harga BBM ini tidak dikondisikan menjadi wacana terbuka dan meresahkan. Pemerintah seharusnya segera menaikkan harga BBM begitu faktor penekan -- harga minyak dunia -- semakin serius. Toh, seperti kata Wapres Jusuf Kalla, keputusan menaikkan harga BBM adalah hak pemerintah.
Jakarta, 29 September 2005

Tidak ada komentar: