Penilaian The
Financial Action Task Force (FATF), bahwa Indonesia -- bersama Pakistan, Ghana,
dan Tanzania -- tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi tentang langkah
memerangi tindak pencucian uang, sungguh tak patut dipandang remeh.
Bagaimanapun, penilaian otoritas pengawas tindak pencucian uang tingkat global
itu merupakan alarm.
Artinya, tindak pencucian uang di
Indonesia kembali gawat setelah beberapa tahun berada di jalur yang benar. Bukan tidak
mungkin, karena itu, Indonesia pun kembali dimasukkan FATF ke daftar hitam
negara yang digolongkan tidak kooperatif terhadap gerakan internasional
memerangi tindak pencucian uang. Konsekuensi yang segera muncul pun sungguh
gawat: Indonesia bisa diisolasi dari transaksi keuangan global. Paling tidak,
dunia internasional jadi enggan menjalin transaksi bisnis dengan Indonesia.
Karena itu, sungguh mengherankan bahwa
Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan (PPATK) -- otoritas pengawas
tidak pencucian uang di dalam negeri -- terkesan memandang sepi alarm FATF
tentang Indonesia ini. PPATK menafikan begitu saja kemungkinan FATF memasukkan
kembali Indonesia ke daftar hitam negara yang tak serius membangun rezim
antipencucian uang.
Sikap itu berbahaya karena bisa menjadi
petunjuk tambahan bagi FATF bahwa Indonesia bukan saja lembek, melainkan justru
ramah atau bahkan toleran terhadap tindak pencucian uang. Sejalan dengan itu,
pembangunan rezim antipencucian uang di Indonesia juga bisa dinilai sekadar
slogan alias hanya pepesan kosong! Kalau sudah begitu, fenalti FATF pun bisa
sungguh niscaya: Indonesia dibenamkan kembali ke daftar negara yang tak
kooperatif terhadap perang global melawan pencucian uang.
Sebenarnya, tanpa alarm FATF pun, fenomena
pencucian uang di Indonesia ini begitu terang benderang. Tindak pidana korupsi
yang semakin parah adalah indikasi paling kuat tentang itu. Korupsi di
Indonesia telah menjadi hulu tindak pencucian uang.
Temuan PPATK sendiri, yang reguler
dilaporkan kepada publik, tak terkecuali memberi petunjuk bahwa tindak
pencucian uang di Indonesia begitu marak dan nyaris tanpa tedeng aling-aling
lagi. Dalam konteks ini pula, Indonesia memang terkesan begitu lembek.
Institusi-institusi penegak hukum begitu toleran terhadap tindak pencucian
uang.
Bukti nyata tentang itu, antara lain,
temuan PPATK mengenai berbagai kasus transaksi mencurigakan sedikit sekali yang
diproses otoritas penegak hukum sebagaimana mestinya. Selama ini, berbagai
laporan PPATK lebih banyak dibiarkan teronggok di laci sampai akhirnya menguap
dan dilupakan publik.
Bahkan, seperti dalam kasus rekening
gendut yang disebut-sebut milik elite Polri, petinggi institusi tersebut tak
sungkan-sungkan menilainya tidak beralasan dilacak serta diproses secara hukum.
Dengan menganggap temuan tentang rekening gendut itu tak perlu dimasalahkan,
petinggi Polri jelas sedang melidungi korps sekaligus mengubur prinsip-prinsip
rezim antipencucian uang.
Karena itu, sungguh aneh dan sulit
dipahami jika PPATK
terkesan
memandang remeh alarm FATF tentang Indonesia. Sikap itu serta-merta membuat
PPATK seolah menutup mata terhadap fenonema tindak pencucian uang di Indonesia
selama ini. Selaku garda terdepan rezim antipencucian uang, jelas PPATK sungguh
tak patut tampil seperti ikut-ikutan toleran terhadap fenomena itu.
Dengan kata lain, alarm FATF selayaknya
justru membuat PPATK lantang berteriak bahwa rezim antipencucian uang di
Indonesia memang hanya pepesan kosong. Itu beralasan agar pihak-pihak lain
sadar akan konsekuensi yang harus ditanggung bersama -- dan karena itu
barangkali mereka tergerak serius menegakkan aturan main yang menopang rezim
antipencucian uang.***
Jakarta, 17
Februari 2012