17 Februari 2012

Rezim Pepesan Kosong


Penilaian The Financial Action Task Force (FATF), bahwa Indonesia -- bersama Pakistan, Ghana, dan Tanzania -- tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi tentang langkah memerangi tindak pencucian uang, sungguh tak patut dipandang remeh. Bagaimanapun, penilaian otoritas pengawas tindak pencucian uang tingkat global itu merupakan alarm.
      
Artinya, tindak pencucian uang di Indonesia kembali gawat setelah beberapa tahun berada di jalur yang benar. Bukan tidak mungkin, karena itu, Indonesia pun kembali dimasukkan FATF ke daftar hitam negara yang digolongkan tidak kooperatif terhadap gerakan internasional memerangi tindak pencucian uang. Konsekuensi yang segera muncul pun sungguh gawat: Indonesia bisa diisolasi dari transaksi keuangan global. Paling tidak, dunia internasional jadi enggan menjalin transaksi bisnis dengan Indonesia.
      
Karena itu, sungguh mengherankan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan (PPATK) -- otoritas pengawas tidak pencucian uang di dalam negeri -- terkesan memandang sepi alarm FATF tentang Indonesia ini. PPATK menafikan begitu saja kemungkinan FATF memasukkan kembali Indonesia ke daftar hitam negara yang tak serius membangun rezim antipencucian uang.
      
Sikap itu berbahaya karena bisa menjadi petunjuk tambahan bagi FATF bahwa Indonesia bukan saja lembek, melainkan justru ramah atau bahkan toleran terhadap tindak pencucian uang. Sejalan dengan itu, pembangunan rezim antipencucian uang di Indonesia juga bisa dinilai sekadar slogan alias hanya pepesan kosong! Kalau sudah begitu, fenalti FATF pun bisa sungguh niscaya: Indonesia dibenamkan kembali ke daftar negara yang tak kooperatif terhadap perang global melawan pencucian uang.
      
Sebenarnya, tanpa alarm FATF pun, fenomena pencucian uang di Indonesia ini begitu terang benderang. Tindak pidana korupsi yang semakin parah adalah indikasi paling kuat tentang itu. Korupsi di Indonesia telah menjadi hulu tindak pencucian uang.
      
Temuan PPATK sendiri, yang reguler dilaporkan kepada publik, tak terkecuali memberi petunjuk bahwa tindak pencucian uang di Indonesia begitu marak dan nyaris tanpa tedeng aling-aling lagi. Dalam konteks ini pula, Indonesia memang terkesan begitu lembek. Institusi-institusi penegak hukum begitu toleran terhadap tindak pencucian uang.
      
Bukti nyata tentang itu, antara lain, temuan PPATK mengenai berbagai kasus transaksi mencurigakan sedikit sekali yang diproses otoritas penegak hukum sebagaimana mestinya. Selama ini, berbagai laporan PPATK lebih banyak dibiarkan teronggok di laci sampai akhirnya menguap dan dilupakan publik.
      
Bahkan, seperti dalam kasus rekening gendut yang disebut-sebut milik elite Polri, petinggi institusi tersebut tak sungkan-sungkan menilainya tidak beralasan dilacak serta diproses secara hukum. Dengan menganggap temuan tentang rekening gendut itu tak perlu dimasalahkan, petinggi Polri jelas sedang melidungi korps sekaligus mengubur prinsip-prinsip rezim antipencucian uang.
      
Karena itu, sungguh aneh dan sulit dipahami jika PPATK
terkesan memandang remeh alarm FATF tentang Indonesia. Sikap itu serta-merta membuat PPATK seolah menutup mata terhadap fenonema tindak pencucian uang di Indonesia selama ini. Selaku garda terdepan rezim antipencucian uang, jelas PPATK sungguh tak patut tampil seperti ikut-ikutan toleran terhadap fenomena itu.
      
Dengan kata lain, alarm FATF selayaknya justru membuat PPATK lantang berteriak bahwa rezim antipencucian uang di Indonesia memang hanya pepesan kosong. Itu beralasan agar pihak-pihak lain sadar akan konsekuensi yang harus ditanggung bersama -- dan karena itu barangkali mereka tergerak serius menegakkan aturan main yang menopang rezim antipencucian uang.***

Jakarta, 17 Februari 2012