16 Februari 2012

Konversi BBM Jangan Menjadi Ilusi

Program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) yang kini digadang-gadang pemerintah jangan menjadi sekadar ilusi. Bukan cuma karena program ini bersifat ramah lingkungan, melainkan terutama karena menjadi alternatif strategis untuk menghindari tekanan harga minyak dunia yang dewasa ini cenderung terus naik. Dengan konversi BBM ke BBG, faktor harga minyak dunia tak akan lagi membuat APBN babak-belur sehubungan dengan pembengkakan subsidi BBM.

Dibanding banyak negara, Indonesia tergolong telat melaksanakan program konversi BBM ke BBG ini. Malaysia dan Pakistan, misalnya, sudah mulai melaksanakan program tersebut sejak awal 1990-an. Bisa dipahami jika di negara-negara tersebut pemakaian BBG sudah relatif memasyarakat.

Kesadaran pemerintah Indonesia sendiri tentang konversi BBM ke BBG sudah tumbuh sejak lama. Persisnya pada tahun 1986, pemerintah mengadakan armada taksi yang menggunakan BBG. Armada taksi tersebut didatangkan untuk wilayah DKI Jakarta sebagai proyek percontohan.

Namun seiring perkembangan waktu, program penggunaan BBG ini menjadi melempem. Pemerintah seperti kehilangan gairah untuk meneruskan program tersebut. Tak mengherankan jika kendaraan (taksi di Jakarta) yang menggunakan BBG bukannya bertambah, melainkan malah terus berkurang. Sampai akhirnya khalayak dibuat lupa mengenai program penggunaan BBG, khususnya pada armada angkutan umum itu.

Tahun 1995, keinginan pemerintah memasyarakatkan penggunaan BBG sempat tumbuh lagi. Tetapi keinginan itu akhirnya sebatas menjadi wacana. Pemerintah tak kunjung menunjukkan keseriusan mewujudkan keinginan itu. Karena harga minyak dunia ketika itu belum lagi menjadi faktor yang membuat APBN babak-belur, kampanye penggunaan BBG lagi-lagi sekadar hangat-hangat tahi ayam.

Belakangan, pemerintah kembali mengungkapkan keinginan mengampanyekan penggunaan BBG ini. Bahkan keinginan itu terkesan ambisius karena langsung disebut-sebut sebagai program konversi BBM yang dilaksanakan bertahap mulai 1 April 2012.

Tetapi justru itu, program tersebut lebih merupakan wujud kepanikan pemerintah dalam menghadapi pembengkakan subsidi BBM seiring harga minyak di pasar global yang terus meningkat di satu sisi, serta peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri yang terus menanjak signifikan di sisi lain.
Kesan pemerintah panik begitu kental karena pencanangan program konversi itu praktis tanpa kesiapan dan persiapan.

Konversi BBM ke BBG memang tak mungkin bisa segera terwujud laiknya kesaktian mantera abrakadabra. Bagaimanapun, program tersebut menuntut kesiapan dan penyiapan matang -- dan karena itu butuh waktu. Semata mengandalkan tekad dan semangat menggebu, sementara kesiapan dan penyiapan begitu minim, niscaya membuat program konversi BBM ke BBG ini akhirnya menjadi sekadar ilusi.

Walhasil, pemerintah tak perlu grasa-grusu dalam menggulirkan program konversi ini. Yang penting, pemerintah benar-benar serius melakukan sosialisasi sekaligus berbagai kesiapan dan penyiapan di lapangan. Stasiun pengisian BBG, misalnya, perlu lebih dulu disiapkan secara masif sehingga kelak program konversi tidak merepotkan masyarakat. Begitu juga soal penyiapan sarana konverter kit maupun bengkel-bengkel instalasi dan pemeliharaan alat penunjang penggunaan BBG.

Untuk itu, sejak awal berbagai pihak terkait perlu dirangkul dan dilibatkan. Program konversi BBM ke BBG tak mungkin berhasil bila sekadar digulirkan pemerintah.

Program tersebut juga cuma menjadi omong kosong jika pasokan BBG sama sekali tak terjamin. Pasokan BBG baru bisa terjamin aman hanya jika pemerintah mengubah haluan kebijakan menyangkut gas. Dalam konteks ini, nafsu ekspor gas tak boleh lagi diumbar-umbar.***

Jakarta, 16 Februari 2012