07 Februari 2012

Miris Utang Pemerintah


Utang pemerintah sudah menjadi masalah yang merisaukan sekaligus membuat miris. Pertama, karena jumlah utang sudah demikian menggunung. Menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), jumlah utang pemerintah ini makin mendekati Rp 2.000 triliun. Persisnya sudah mencapai Rp 1.937 triliun. Tumpukan utang sebesar itu, jika dibagi rata kepada seluruh penduduk, maka tiap kepala kini menanggung beban utang sekitar Rp 7 juta.

Kedua, utang pemerintah ini membuat miris karena pinjaman terus-menerus bertambah. Seperti kecanduan, pemerintah saban tahun terus menambah utang dalam jumlah signifikan. Tahun ini, misalnya, utang baru berjumlah senilai Rp 134 triliun. Sementara tahun lalu sekitar Rp 126 triliun.

Dalam konteks itu, sama sekali tak terlihat tanda-tanda pemerintah berupaya sekadar mengerem nafsu menambah utang ini. Karena itu pula, bukan saja jumlah utang secara keseluruhan terus bertambah, cicilan pokok utang plus bunganya pun kian membengkak. Sekarang ini, sejak tahun 2009, jumlah cicilan pokok plus bunga sudah di atas Rp 230 triliun per tahun.

Jadi, utang pemerintah ini sungguh merupakan masalah yang sudah merisaukan sekaligus membuat miris. Memang, menurut parameter ilmu ekonomi, beban utang pemerintah masih tergolong aman. Dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih kurang lebih 25 persen, konon, pemerintah masih memiliki kemampuan untuk menanggung beban tumpukan utang.

Walhasil, secara teoretis, sama sekali tak beralasan merisaukan beban utang pemerintah. Tetapi sampai kapan kondisi aman itu terjaga? Lagi pula, jika tak bersikap awas, konstatasi itu berbahaya karena berdampak melenakan sekaligus bisa menjebak: nafsu menambah utang terus-menerus diumbar sehingga batas toleransi pun tahu-tahu terlampaui.

Kalau beban utang ini sudah benar-benar memerangkap, kebangkrutan keuangan negara sungguh niscaya. Krisis keuangan yang kini melanda sejumlah negara Eropa adalah potret nyata tentang perangkap utang ini.

Karena itu, beban utang pemerintah yang kini sudah hampir mencapai Rp 2.000 triliun tetap beralasan diwaspadai. Jangan terlena oleh konstatasi bahwa beban itu masih aman karena secara teoretis masih dalam batas kemampuan pemerintah untuk menanggungnya. Lagi pula, konstatasi itu sama sekali tak bermakna kalau pemanfaatan dana pinjaman tidak berdampak nyata dan tidak pula signifikan menanggulangi kemiskinan.

Patut diakui, selama ini pemanfaatan dana pinjaman tidak sepenuhnya merujuk pada proyek-proyek pembangunan yang langsung maupun tidak langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan, melihat daftar tahunan belanja pemerintah, dana pinjaman ini terkesan banyak digunakan sekadar untuk membiayai proyek-proyek fasilitas mewah pejabat publik. Sebut saja pembangunan atau renovasi gedung perkantoran plus atau rumah dinas dengan segala kelengkapannya, pengadaan mobil dinas, dan banyak lagi.

Di sisi lain, pemanfaatan dana pinjaman untuk proyek-proyek pembangunan sendiri tak benar-benar efektif. Betapa tidak, karena proyek-proyek pembangunan banyak diwarnai praktik mark-up, manipulasi, atau apa pun yang mengutub pada tindak korupsi.

Dulu, sebelum era reformasi, menurut tilikan begawan ekonomi nasional mendiang Sumitro Djojohadikusumo, tingkat kebocoran anggaran kita mencapai 40 persen. Nah, melihat eskalasi praktik korupsi sekarang ini yang demikian tinggi, bisa dipastikan tingkat kebocoran anggaran ini jauh lebih besar lagi. Padahal, sekali lagi, sumber anggaran negara banyak berasal dari pinjaman -- entah pinjaman luar negeri ataupun pinjaman dalam negeri.

Atas dasar itu, nafsu pemerintah mencetak utang baru sungguh patut diredam. Keuangan negara jangan lagi banyak disandarkan pada pinjaman, melainkan bertumpu pada sumber-sumber penerimaan berupa pajak ataupun hasil ekspor. Tentu, sejalan dengan itu, prinsip pemerintahan yang bersih dan efektif pun harus bisa ditegakkan.***