Utang pemerintah sudah menjadi masalah yang merisaukan sekaligus membuat miris.
Pertama, karena jumlah utang sudah demikian menggunung. Menurut rilis Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), jumlah utang pemerintah ini
makin mendekati Rp 2.000 triliun. Persisnya sudah mencapai Rp 1.937 triliun.
Tumpukan utang sebesar itu, jika dibagi rata kepada seluruh penduduk, maka tiap
kepala kini menanggung beban utang sekitar Rp 7 juta.
Kedua, utang pemerintah ini membuat miris karena pinjaman terus-menerus
bertambah. Seperti kecanduan, pemerintah saban tahun terus menambah utang dalam
jumlah signifikan. Tahun ini, misalnya, utang baru berjumlah senilai Rp 134
triliun. Sementara tahun lalu sekitar Rp 126 triliun.
Dalam konteks itu, sama sekali tak terlihat tanda-tanda pemerintah berupaya
sekadar mengerem nafsu menambah utang ini. Karena itu pula, bukan saja jumlah
utang secara keseluruhan terus bertambah, cicilan pokok utang plus bunganya pun
kian membengkak. Sekarang ini, sejak tahun 2009, jumlah cicilan pokok plus
bunga sudah di atas Rp 230 triliun per tahun.
Jadi, utang pemerintah ini sungguh merupakan masalah yang sudah merisaukan
sekaligus membuat miris. Memang, menurut parameter ilmu ekonomi, beban utang
pemerintah masih tergolong aman. Dengan rasio utang terhadap produk domestik
bruto (PDB) masih kurang lebih 25 persen, konon, pemerintah masih memiliki
kemampuan untuk menanggung beban tumpukan utang.
Walhasil, secara teoretis, sama sekali tak beralasan merisaukan beban utang
pemerintah. Tetapi sampai kapan kondisi aman itu terjaga? Lagi pula, jika tak
bersikap awas, konstatasi itu berbahaya karena berdampak melenakan sekaligus
bisa menjebak: nafsu menambah utang terus-menerus diumbar sehingga batas
toleransi pun tahu-tahu terlampaui.
Kalau beban utang ini sudah benar-benar memerangkap, kebangkrutan keuangan
negara sungguh niscaya. Krisis keuangan yang kini melanda sejumlah negara Eropa
adalah potret nyata tentang perangkap utang ini.
Karena itu, beban utang pemerintah yang kini sudah hampir mencapai Rp 2.000
triliun tetap beralasan diwaspadai. Jangan terlena oleh konstatasi bahwa beban
itu masih aman karena secara teoretis masih dalam batas kemampuan pemerintah
untuk menanggungnya. Lagi pula, konstatasi itu sama sekali tak bermakna kalau
pemanfaatan dana pinjaman tidak berdampak nyata dan tidak pula signifikan
menanggulangi kemiskinan.
Patut diakui, selama ini pemanfaatan dana pinjaman tidak sepenuhnya merujuk
pada proyek-proyek pembangunan yang langsung maupun tidak langsung meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Bahkan, melihat daftar tahunan belanja pemerintah, dana
pinjaman ini terkesan banyak digunakan sekadar untuk membiayai proyek-proyek
fasilitas mewah pejabat publik. Sebut saja pembangunan atau renovasi gedung
perkantoran plus atau rumah dinas dengan segala kelengkapannya, pengadaan mobil
dinas, dan banyak lagi.
Di sisi lain, pemanfaatan dana pinjaman untuk proyek-proyek pembangunan
sendiri tak benar-benar efektif. Betapa tidak, karena proyek-proyek pembangunan
banyak diwarnai praktik mark-up, manipulasi, atau apa pun yang mengutub pada
tindak korupsi.
Dulu, sebelum era reformasi, menurut tilikan begawan ekonomi nasional
mendiang Sumitro Djojohadikusumo, tingkat kebocoran anggaran kita mencapai 40
persen. Nah, melihat eskalasi praktik korupsi sekarang ini yang demikian
tinggi, bisa dipastikan tingkat kebocoran anggaran ini jauh lebih besar lagi.
Padahal, sekali lagi, sumber anggaran negara banyak berasal dari pinjaman --
entah pinjaman luar negeri ataupun pinjaman dalam negeri.
Atas dasar itu, nafsu pemerintah mencetak utang baru sungguh patut diredam.
Keuangan negara jangan lagi banyak disandarkan pada pinjaman, melainkan
bertumpu pada sumber-sumber penerimaan berupa pajak ataupun hasil ekspor.
Tentu, sejalan dengan itu, prinsip pemerintahan yang bersih dan efektif pun
harus bisa ditegakkan.***