13 Februari 2012

Revisi UU Pemilu Harus Menyehatkan Demokrasi

Pembahasan RUU Pemilu tak boleh sampai mandek karena punya konsekuensi serius. Jika hingga batas waktu yang tersedia belum juga kelar, otomatis pembahasan sejumlah rancangan undang-undang lain menjadi ikut molor atau bahkan terbengkalai -- dan karena itu membuat masalah kenegaraan menjadi ruwet. Betapa tidak, karena seperti juga RUU Pemilu, berbagai rancangan undang-undang itu -- antara lain RUU Pemilihan Presiden, RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilihan Kepala Daerah, juga RUU Politik -- menjadi fundamen vital bagi kehidupan kenegaraan kita ke depan.

Jadi, setelah molor dari tenggat semula September 2011, pembahasan RUU Pemilu ini harus bisa tuntas Maret 2012 sesuai kesepakatan DPR di tingkat panitia khusus maupun panitia kerja. Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam proses revisi UU Pemilu tersebut harus menunjukkan keinginan baik: segera mencapai kesepakatan. Mereka harus menyingkirkan ego maupun kepentingan sempit masing-masing.

Dengan kata lain, semua pihak harus fokus pada rujukan bersama: bahwa pembahasan RUU Pemilu ini -- seperti juga berbagai produk perundangan yang lain -- untuk kepentingan khalayak luas. Persisnya: mewujudkan praktik demokrasi yang sehat dan fair. Proses pembahasan tidak boleh sampai berlarut-larut hanya karena tarik-menarik kepentingan parpol atau apalagi elite-elite parpol.

Dengan keinginan baik dan kesadaran seperti itu, niscaya pembahasan RUU Pemilu bisa kelar sesuai tenggat. Dalam konteks ini, empat isu yang disebut-sebut krusial -- keterwakilan parpol di parlemen alias parliamentary threshold, daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode penghitungan suara -- tidak lantas menjadi batu sandungan yang membuat proses pembahasan menjadi berlarut-larut.

Khusus soal ambang batas keterwakilan parpol di parlemen, kiranya DPR bisa menyepakati angka minimal di atas 2,5 persen. Untuk itu, DPR mesti teguh mengemban semangat pembaruan: bahwa dalam tiap pemilu, angka ambang batas keterwakilan parpol di parlemen ini harus naik dibanding pemilu sebelumnya. Muara semangat ini tidak lain adalah menyederhanakan parpol agar kehidupan politik lebih efisien dan efektif.

Angka ambang batas itu sendiri jangan lagi hanya berlaku di parlemen pusat seperti selama ini. Angka itu beralasan ditetapkan seragam mulai di tingkat pusat hingga ke parlemen di daerah -- agar kehidupan politik di daerah juga berlangsung sehat.

Selama ini, keterwakilan parpol di parlemen daerah tak dipagari batasan minimum perolehan kursi seperti di parlemen pusat. Keterwakilan parpol di parlemen daerah melulu sesuai perolehan kursi masing-masing.

Memang, secara teknis, itu tidak salah. Tapi becermin pada pengalaman selama ini, keterwakilan parpol tanpa batasan minimum perolehan kursi itu melahirkan praktik-praktik
kurang efisien sekaligus kurang sehat bagi proses demokrasi.
Dalam konteks ini, partai-partai yang beroleh kursi sedikit bergabung membentuk fraksi tersendiri. Nah, fraksi gabungan tersebut bisa lebih besar daripada fraksi lain yang memiliki kursi relatif banyak.

Jika yang menjadi ukuran semata strategi berpolitik, praktik seperti itu sah-sah saja. Tapi soalnya, fraksi gabungan partai gurem punya implikasi yang mencederai demokrasi: mereka acap tidak lagi mencerminkan fungsi maupun agregasi kepartaian. Ideologi tak lagi menjadi landasan kiprah masing-masing di parlemen.

Dalam wadah fraksi gabungan, apa yang mereka perjuangkan lebih berlatar kepentingan-kepentingan pragmatis fraksi -- notabene acap kental beraroma politik uang. Acapkali kepentingan konstituen masing-masing partai pendukung pun dinafikan. Celakanya pula, strategi yang amat cair serta pragmatis itu acap membuat fraksi partai gurem menjadi penentu keputusan parlemen.

Jadi, praktik tidak sehat seperti itu selayaknya diakhiri -- demi mewujudkan praktik demokrasi yang sehat, efektif, dan efisien. Nah, revisi UU Pemilu adalah wahana strategis untuk itu.***

Jakarta, 13 Februari 2012