Geng motor kini
mulai diberangus polisi. Di sejumlah daerah, anggota geng motor diburu dan
ditangkapi. Mereka digelandang ke kantor polisi dan dijebloskan ke bui --
menunggu proses hukum. Mereka diburu dan ditangkapi karena sering berulah
laiknya kriminal.
Bagi masyarakat, tindakan polisi
memberangus geng motor ini sungguh melegakan. Karena itu pula, tindakan polisi
diharapkan tak dilakukan hanya di sejumlah daerah, melainkan serentak dan
menyeluruh meliputi segenap wilayah yang selama ini menjadi ajang kegilaan geng
motor.
Harapan itu tidak berlebihan karena selama
ini ulah geng motor sudah sangat meresahkan. Di berbagai daerah, mereka sudah begitu sering mempertunjukkan
keberingasan dan kebrutalan sebuah kelompok: memalak, menganiaya, meneror,
merampok, bahkan membunuh orang. Semua itu mereka lakukan acap tanpa sebab
jelas atau bahkan tanpa alasan sama sekali.
Ulah geng motor memang sudah kelewatan.
Mungkin karena selama ini kepolisian seolah absen melakukan penindakan.
Kalaupun dilakukan, penindakan itu cenderung sporadis atau kasuistis.
Selebihnya, dalam menghadapi ulah geng motor, tindakan polisi terkesan lembek.
Paling tidak, tindakan polisi tidak
benar-benar menjadi shock treatment.
Karena itu, seperti di Pekanbaru, Riau,
Minggu lalu, geng motor bahkan berani menyerang institusi kepolisian secara
brutal. Sebagai wujud tekanan atau teror agar pimpinan mereka yang meringkuk di
sel polisi dibebaskan, mereka menghancurkan bangunan kantor Mapolresta Pekanbaru.
Mereka juga memorak-porandakan sejumlah kendaraan dan gedung-gedung sekitar
mapolresta.
Itu jelas merupakan petunjuk bahwa geng
motor sudah tak menghargai sama sekali institusi kepolisian selaku simbol
negara. Bagi mereka, institusi kepolisian pun sudah mereka perlakukan sebagai
bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa -- dan karena itu tak dihadapi dengan
rasa hormat, segan, atau apalagi gentar.
Walhasil, fenomena geng motor sudah amat
meresahkan. Keresahan masyarakat yang mereka timbulkan sudah serius. Ibarat
penyakit, geng motor bukan lagi sekadar bisul, melainkan sudah merupakan kanker
stadium lanjut.
Karena itu, fenomena geng motor bukan lagi
sekadar masalah kenakalan remaja. Fenomena geng motor sudah merupakan masalah
kriminal -- dan karena itu tak cukup lagi dihadapi dengan sikap toleran atau
lembek. Fenomena geng motor, seperti juga keberadaan kelompok-kelompok lain
yang biasa berperilaku kriminal, wajib dihadapi dengan sikap tegas dan lugas.
Atas nama ketertiban dan ketenteraman umum, polisi wajib memberangus keberadaan
mereka tanpa keluar koridor hukum.
Memang, umumnya geng motor terdiri atas
anak-anak remaja. Tetapi, sekali lagi, ulah mereka selama ini sudah acap tidak
bisa lagi digolongkan sekadar kenakalan remaja. Ulah mereka adalah perilaku
kriminal. Bahkan dalam sejumlah kasus yang membuat orang waras bergidik, ulah
mereka sudah merupakan perilaku gangster.
Karena itu, meski terdiri atas anak-anak
remaja, jelas keberadaan geng motor dengan tabiat kriminal ini tak bisa lagi
dihadapi dengan sikap penuh mafhum dan lembek. Bahkan sikap tersebut sangat
berbahaya karena bisa membuat anak-anak remaja yang berhimpun dalam geng-geng
motor tumbuh menjadi sosok-sosok dengan watak mafia laiknya dalam film-film
gangster. Adalah menyedihkan sekaligus merisaukan jika kehidupan kemasyarakatan
bukan lagi berpijak pada tertib sosial, melainkan dikendalikan oleh
kelompok-kelompok gangster.
Bagaimanapun kenyataan serupa itu tak
boleh terjadi di Indonesia ini. Karena itu, geng motor -- sejauh tetap
menunjukkan gelagat sebagai penyemaian bibit-bibit gangster -- memang tak layak
diberi ruang untuk hidup. Mereka kudu diberangus hingga ke akar-akarnya.***
Jakarta, 28
Februari 2012