28 Februari 2012

Gangster Geng Motor


Geng motor kini mulai diberangus polisi. Di sejumlah daerah, anggota geng motor diburu dan ditangkapi. Mereka digelandang ke kantor polisi dan dijebloskan ke bui -- menunggu proses hukum. Mereka diburu dan ditangkapi karena sering berulah laiknya kriminal.
      
Bagi masyarakat, tindakan polisi memberangus geng motor ini sungguh melegakan. Karena itu pula, tindakan polisi diharapkan tak dilakukan hanya di sejumlah daerah, melainkan serentak dan menyeluruh meliputi segenap wilayah yang selama ini menjadi ajang kegilaan geng motor.
      
Harapan itu tidak berlebihan karena selama ini ulah geng motor sudah sangat meresahkan. Di berbagai daerah,  mereka sudah begitu sering mempertunjukkan keberingasan dan kebrutalan sebuah kelompok: memalak, menganiaya, meneror, merampok, bahkan membunuh orang. Semua itu mereka lakukan acap tanpa sebab jelas atau bahkan tanpa alasan sama sekali.
      
Ulah geng motor memang sudah kelewatan. Mungkin karena selama ini kepolisian seolah absen melakukan penindakan. Kalaupun dilakukan, penindakan itu cenderung sporadis atau kasuistis. Selebihnya, dalam menghadapi ulah geng motor, tindakan polisi terkesan lembek. Paling  tidak, tindakan polisi tidak benar-benar menjadi shock treatment.
      
Karena itu, seperti di Pekanbaru, Riau, Minggu lalu, geng motor bahkan berani menyerang institusi kepolisian secara brutal. Sebagai wujud tekanan atau teror agar pimpinan mereka yang meringkuk di sel polisi dibebaskan, mereka menghancurkan bangunan kantor Mapolresta Pekanbaru. Mereka juga memorak-porandakan sejumlah kendaraan dan gedung-gedung sekitar mapolresta.
      
Itu jelas merupakan petunjuk bahwa geng motor sudah tak menghargai sama sekali institusi kepolisian selaku simbol negara. Bagi mereka, institusi kepolisian pun sudah mereka perlakukan sebagai bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa -- dan karena itu tak dihadapi dengan rasa hormat, segan, atau apalagi gentar. 
      
Walhasil, fenomena geng motor sudah amat meresahkan. Keresahan masyarakat yang mereka timbulkan sudah serius. Ibarat penyakit, geng motor bukan lagi sekadar bisul, melainkan sudah merupakan kanker stadium lanjut.
      
Karena itu, fenomena geng motor bukan lagi sekadar masalah kenakalan remaja. Fenomena geng motor sudah merupakan masalah kriminal -- dan karena itu tak cukup lagi dihadapi dengan sikap toleran atau lembek. Fenomena geng motor, seperti juga keberadaan kelompok-kelompok lain yang biasa berperilaku kriminal, wajib dihadapi dengan sikap tegas dan lugas. Atas nama ketertiban dan ketenteraman umum, polisi wajib memberangus keberadaan mereka tanpa keluar koridor hukum.
      
Memang, umumnya geng motor terdiri atas anak-anak remaja. Tetapi, sekali lagi, ulah mereka selama ini sudah acap tidak bisa lagi digolongkan sekadar kenakalan remaja. Ulah mereka adalah perilaku kriminal. Bahkan dalam sejumlah kasus yang membuat orang waras bergidik, ulah mereka sudah merupakan perilaku gangster.
      
Karena itu, meski terdiri atas anak-anak remaja, jelas keberadaan geng motor dengan tabiat kriminal ini tak bisa lagi dihadapi dengan sikap penuh mafhum dan lembek. Bahkan sikap tersebut sangat berbahaya karena bisa membuat anak-anak remaja yang berhimpun dalam geng-geng motor tumbuh menjadi sosok-sosok dengan watak mafia laiknya dalam film-film gangster. Adalah menyedihkan sekaligus merisaukan jika kehidupan kemasyarakatan bukan lagi berpijak pada tertib sosial, melainkan dikendalikan oleh kelompok-kelompok gangster.
      
Bagaimanapun kenyataan serupa itu tak boleh terjadi di Indonesia ini. Karena itu, geng motor -- sejauh tetap menunjukkan gelagat sebagai penyemaian bibit-bibit gangster -- memang tak layak diberi ruang untuk hidup. Mereka kudu diberangus hingga ke akar-akarnya.***

Jakarta, 28 Februari 2012