Program konversi
bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) yang kini digadang-gadang
pemerintah layak didukung semua pihak. Bukan cuma karena program ini bersifat
ramah lingkungan, melainkan terutama karena menjadi alternatif strategis untuk
menghindari tekanan harga minyak dunia yang dewasa ini cenderung terus naik.
Dengan konversi BBM ke BBG, faktor harga minyak dunia tak akan lagi membuat
APBN babak-belur sehubungan dengan pembengkakan subsidi BBM.
Dibanding banyak
negara, Indonesia tergolong telat melaksanakan program konversi BBM ke BBG ini.
Malaysia dan Pakistan, misalnya, sudah mulai melaksanakan program tersebut
sejak awal 1990-an. Bisa dipahami jika di negara-negara tersebut pemakaian BBG
sudah relatif memasyarakat.
Kesadaran
pemerintah Indonesia sendiri tentang konversi BBM ke BBG sudah tumbuh sejak
lama. Persisnya pada tahun 1986, pemerintah mengadakan armada taksi yang
menggunakan BBG. Armada taksi tersebut didatangkan untuk wilayah DKI Jakarta
sebagai proyek percontohan.
Namun seiring
perkembangan waktu, program penggunaan BBG ini menjadi melempem. Pemerintah
seperti kehilangan gairah untuk meneruskan program tersebut. Tak mengherankan
jika kendaraan (taksi di Jakarta) yang menggunakan BBG bukannya bertambah,
melainkan malah terus berkurang. Sampai akhirnya khalayak dibuat lupa mengenai
program penggunaan BBG, khususnya pada armada angkutan umum itu.
Tahun 1995,
keinginan pemerintah memasyarakatkan penggunaan BBG sempat tumbuh lagi. Tetapi
keinginan itu akhirnya sebatas menjadi wacana. Pemerintah tak kunjung
menunjukkan keseriusan mewujudkan keinginan itu. Karena harga minyak dunia
ketika itu belum lagi menjadi faktor yang membuat APBN babak-belur, kampanye
penggunaan BBG lagi-lagi sekadar hangat-hangat tahi ayam.
Belakangan,
pemerintah kembali mengungkapkan keinginan mengampanyekan penggunaan BBG ini.
Bahkan keinginan itu terkesan ambisius karena langsung disebut-sebut sebagai
program konversi BBM yang dilaksanakan bertahap mulai 1 April 2012.
Tetapi justru
itu, program tersebut lebih merupakan wujud kepanikan pemerintah dalam
menghadapi pembengkakan subsidi BBM seiring harga minyak di pasar global yang
terus meningkat di satu sisi, serta peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri
yang terus menanjak signifikan di sisi lain.
Kesan pemerintah
panik begitu kental karena pencanangan program konversi itu praktis tanpa
kesiapan dan persiapan.
Konversi BBM ke
BBG memang tak mungkin bisa segera terwujud laiknya kesaktian mantera
abrakadabra. Bagaimanapun, program tersebut menuntut kesiapan dan penyiapan
matang -- dan karena itu butuh waktu. Semata mengandalkan tekad dan semangat
menggebu, sementara kesiapan dan penyiapan begitu minim, niscaya membuat
program konversi BBM ke BBG ini akhirnya menjadi sekadar ilusi.
Walhasil,
pemerintah tak perlu grasa-grusu dalam menggulirkan program konversi ini. Yang
penting, pemerintah benar-benar serius melakukan sosialisasi sekaligus berbagai
kesiapan dan penyiapan di lapangan. Stasiun pengisian BBG, misalnya, perlu
lebih dulu disiapkan secara masif sehingga kelak program konversi tidak
merepotkan masyarakat. Begitu juga soal penyiapan sarana konverter kit maupun
bengkel-bengkel instalasi dan pemeliharaan alat penunjang penggunaan BBG.
Untuk itu, sejak
awal berbagai pihak terkait perlu dirangkul dan dilibatkan. Program konversi
BBM ke BBG tak mungkin berhasil bila sekadar digulirkan pemerintah.
Program tersebut
juga cuma menjadi omong kosong jika pasokan BBG sama sekali tak terjamin.
Pasokan BBG baru bisa terjamin aman hanya jika pemerintah mengubah haluan
kebijakan menyangkut gas. Dalam konteks ini, nafsu ekspor gas tak boleh lagi
diumbar-umbar.***
Jakarta, 16
Februari 2012