21 Februari 2012

Lupa di Depan Hukum


Orang-orang yang berurusan dengan perkara hukum sekarang ini makin tak segan-segan melontarkan pengakuan yang mempertaruhkan kejujuran: lupa, tidak ingat, tidak tahu, atau tidak benar. Namun karena acap terkesan menafikan akal sehat, pengakuan-pengakuan model itu serta-merta seperti sekadar
cara berkelit. Sekadar modus untuk "cuci tangan" atau "buang badan" atas suatu perkara hukum.
      
Pengakuan itu kini sepertinya menjadi model favorit sekaligus cara paling gampang untuk menepis tuduhan di muka hukum. Entah saat diminta keterangan dalam proses penyidikikan ataupun saat bersaksi di dalam persidangan, pengakuan "lupa", "tidak ingat", "tidak tahu", atau "tidak benar" tampaknya menjadi modus orang agar tidak terlalu jauh berurusan dengan perkara hukum. Atau bahkan mengingkari perkara itu.
      
Kalau saja fakta mendukung, kesaksian lain menunjang, serta akal sehat tidak dilecehkan, pengakuan "lupa", "tidak ingat", atau "tidak tahu" ini tidak menjadi soal. Pengakuan itu sah dan wajar-wajar saja. Tidak menggelitik rasa ingin tahu lebih dalam. Atau juga tidak mengusik kecurigaan bahwa pengakuan itu adalah dusta.
      
Namun mencermati serangkaian proses persidangan perkara-perkara korupsi belakangan ini, kesan dusta di balik pengakuan "lupa", "tidak ingat", "tidak tahu", atau "tidak benar" itu terasa begitu kental merupakan dusta. Ya, karena pengakuan itu terang-benderang menafikan akal sehat, melecehkan nalar waras, menjungkirbalikkan logika. Atau pengakuan itu tak selaras dengan fakta maupun keterangan-keterangan lain yang terungkap di persidangan.
      
Karena itu, pengakuan bermodus "lupa" dan lain-lain itu menjadi sangat naif. Terlebih mereka yang melontarkan pengakuan itu adalah sosok-sosok figur publik yang notabene seharusnya menjadi panutan publik. Lebih naif lagi, pengakuan itu di bawah sumpah.
      
Memang, sumpah adalah urusan manusia dengan Tuhan. Namun dalam konteks pengakuan berbau dusta, khususnya di persidangan pengadilan, sumpah jelas dimain-mainkan. Sumpah diperlakukan sekadar proforma.
      
Dengan kata lain, meski di bawah sumpah, pengakuan tidak otomatis menjamin kejujuran. Tak terkecuali pengakuan dalam proses persidangan di pengadilan.
      
Karena itu, menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum -- khususnya jaksa dan hakim -- untuk benar-benar mampu menguji pengakuan-pengakuan saksi ataupun terdakwa yang berpola "lupa", "tidak ingat", "tidak tahu", atau "tidak benar" di persidangan ini -- apakah jujur atau dusta. Untuk itu, fakta harus bisa dihadirkan dan digunakan sebagai alat penguji. Dengan fakta, niscaya bisa terkuakkan apakah pengakuan bermodus "lupa" dan lain-lain itu merupakan sebuah kebenaran ataukah selimut kebohongan.
      
Sejalan dengan itu, ketentuan perundangan yang mengatur ihwal dusta di persidangan pun benar-benar patut diterapkan. Dalam konteks ini, Pasal 242 KUHP yang mengatur ancaman hukuman 7 tahun bagi mereka yang memberikan sumpah palsu ataupun keterangan bohong di muka pengadilan bisa diandalkan.
      
Sejauh ini, pasal 242 KUHP ini seperti menjadi barang rongrokan. Ya, karena hampir tak pernah terdengar orang dijebloskan ke penjara karena memberikan sumpah palsu ataupun menyampaikan keterangan bohong dalam proses pengadilan. Boleh jadi karena itu maka kini orang pun lantas sepertinya tak segan, tak malu, juga tak takut menjadi pendusta di depan muka hukum dengan membuat pengakuan  "lupa", "tidak tahu", "tidak ingat", atau "tidak benar" atas perkara hukum yang dihadapinya.
      
Walhasil, pengakuan "lupa" dan lain-lain itu jangan dibiarkan berkembang menjadi modus yang digunakan mereka yang ingin "cuci tangan" ataupun "buang badan" atas suatu perkara hukum. Terlebih bila perkara yang membelit mereka tak mengingkari akal sehat publik.***

Jakarta, 21 Februari 2012