Orang-orang yang
berurusan dengan perkara hukum sekarang ini makin tak segan-segan melontarkan
pengakuan yang mempertaruhkan kejujuran: lupa, tidak ingat, tidak tahu, atau
tidak benar. Namun karena acap terkesan menafikan akal sehat,
pengakuan-pengakuan model itu serta-merta seperti sekadar
cara berkelit.
Sekadar modus untuk "cuci tangan" atau "buang badan" atas
suatu perkara hukum.
Pengakuan itu kini sepertinya menjadi
model favorit sekaligus cara paling gampang untuk menepis tuduhan di muka
hukum. Entah saat diminta keterangan dalam proses penyidikikan ataupun saat
bersaksi di dalam persidangan, pengakuan "lupa", "tidak
ingat", "tidak tahu", atau "tidak benar" tampaknya
menjadi modus orang agar tidak terlalu jauh berurusan dengan perkara hukum.
Atau bahkan mengingkari perkara itu.
Kalau saja fakta mendukung, kesaksian lain
menunjang, serta akal sehat tidak dilecehkan, pengakuan "lupa",
"tidak ingat", atau "tidak tahu" ini tidak menjadi soal.
Pengakuan itu sah dan wajar-wajar saja. Tidak menggelitik rasa ingin tahu lebih
dalam. Atau juga tidak mengusik kecurigaan bahwa pengakuan itu adalah dusta.
Namun mencermati serangkaian proses
persidangan perkara-perkara korupsi belakangan ini, kesan dusta di balik pengakuan
"lupa", "tidak ingat", "tidak tahu", atau
"tidak benar" itu terasa begitu kental merupakan dusta. Ya, karena
pengakuan itu terang-benderang menafikan akal sehat, melecehkan nalar waras,
menjungkirbalikkan logika. Atau pengakuan itu tak selaras dengan fakta maupun
keterangan-keterangan lain yang terungkap di persidangan.
Karena itu, pengakuan bermodus
"lupa" dan lain-lain itu menjadi sangat naif. Terlebih mereka yang
melontarkan pengakuan itu adalah sosok-sosok figur publik yang notabene seharusnya
menjadi panutan publik. Lebih naif lagi, pengakuan itu di bawah sumpah.
Memang, sumpah adalah urusan manusia
dengan Tuhan. Namun dalam konteks pengakuan berbau dusta, khususnya di
persidangan pengadilan, sumpah jelas dimain-mainkan. Sumpah diperlakukan
sekadar proforma.
Dengan kata lain, meski di bawah sumpah,
pengakuan tidak otomatis menjamin kejujuran. Tak terkecuali pengakuan dalam
proses persidangan di pengadilan.
Karena itu, menjadi tantangan bagi aparat
penegak hukum -- khususnya jaksa dan hakim -- untuk benar-benar mampu menguji
pengakuan-pengakuan saksi ataupun terdakwa yang berpola "lupa",
"tidak ingat", "tidak tahu", atau "tidak benar"
di persidangan ini -- apakah jujur atau dusta. Untuk itu, fakta harus bisa
dihadirkan dan digunakan sebagai alat penguji. Dengan fakta, niscaya bisa
terkuakkan apakah pengakuan bermodus "lupa" dan lain-lain itu
merupakan sebuah kebenaran ataukah selimut kebohongan.
Sejalan dengan itu, ketentuan perundangan
yang mengatur ihwal dusta di persidangan pun benar-benar patut diterapkan.
Dalam konteks ini, Pasal 242 KUHP yang mengatur ancaman hukuman 7 tahun bagi
mereka yang memberikan sumpah palsu ataupun keterangan bohong di muka
pengadilan bisa diandalkan.
Sejauh ini, pasal 242 KUHP ini seperti
menjadi barang rongrokan. Ya, karena hampir tak pernah terdengar orang
dijebloskan ke penjara karena memberikan sumpah palsu ataupun menyampaikan
keterangan bohong dalam proses pengadilan. Boleh jadi karena itu maka kini
orang pun lantas sepertinya tak segan, tak malu, juga tak takut menjadi
pendusta di depan muka hukum dengan membuat pengakuan "lupa", "tidak tahu",
"tidak ingat", atau "tidak benar" atas perkara hukum yang
dihadapinya.
Walhasil, pengakuan "lupa" dan
lain-lain itu jangan dibiarkan berkembang menjadi modus yang digunakan mereka
yang ingin "cuci tangan" ataupun "buang badan" atas suatu
perkara hukum. Terlebih bila perkara yang membelit mereka tak mengingkari akal
sehat publik.***
Jakarta, 21
Februari 2012