28 Februari 2012

Pil Pahit Kenaikan BBM

Siap tidak siap, masyarakat harus menerima kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dalam waktu dekat ini sebagai kenyataan. Pemerintah, seperti kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak punya lagi pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM subsidi - karena harga minyak mentah di pasar global terus meningkat signifikan, sehingga kondisi fiskal pun menjadi tidak sehat akibat beban subsidi kian membengkak.

Alasan itu bisa dipahami, meski terasa pahit. Pahit karena kenaikan harga BBM subsidi jelas berdampak mendongkrak inflasi. Artinya, daya beli masyarakat niscaya terkikis akibat harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan bergerak naik seiring perubahan harga BBM subsidi. Terlebih jika kenaikan harga BBM subsidi ini terbilang amat signifikan.
Karena itu, setelah nanti harga BBM subsidi resmi dinaikkan, pemerintah wajib melakukan aneka upaya yang berdampak membantu menjaga daya beli masyarakat tidak terkikis terlalu dalam akibat digerus inflasi. Dalam konteks ini, efektivitas anggaran makin relevan dan makin urgen ditingkatkan. Proyek-proyek yang sekadar menyedot banyak anggaran, semisal renovasi gedung-gedung pemerintah atau penggantian barang-barang inventaris para pejabat, wajib diseleksi ketat.
Jika nyata-nyata tidak urgen dan apalagi tidak relevan, proyek-proyek seperti itu layak disingkirkan atau minimal ditunda hingga kondisi benar-benar memungkinkan. Adalah tidak lucu, di satu sisi rakyat dipaksa berkorban menanggung beban kenaikan harga BBM subsidi beserta dampak ikutannya yang tak terelakkan, tapi di sisi lain anggaran negara justru tetap saja banyak terkuras oleh proyek-proyek yang tidak relevan dan tidak urgen bagi kepentingan khalayak luas.
Sejalan dengan itu, proyek-proyek yang berdampak nyata mendorong produktivitas ekonomi masyarakat luas, entah langsung maupun tidak langsung, patut diperbanyak. Proyek-proyek infrastruktur, misalnya, harus memperoleh prioritas pengadaan ataupun sekadar perbaikan. Terlebih lagi masalah infrastruktur ini sudah sejak lama menjadi faktor yang begitu nyata menghambat produktivitas ekonomi nasional, entah karena telanjur banyak rusak atau karena belum tersedia.
Masih dalam kerangka efisiensi anggaran, berbagai pemborosan dan kebocoran harus bisa lebih ditekan. Dalam konteks ini, birokrasi pemerintahan harus bisa dibuat makin sehat dan produktif. Berbagai praktik yang cenderung sekadar menyedot anggaran, sementara manfaat nyata bagi kepentingan rakyat nyaris nol, mesti diberangus. Perjalanan dinas, misalnya, patut lebih diseleksi dan lebih disesuaikan dengan tingkat urgensinya.
Selama ini, patut diakui, perjalanan dinas di lingkungan birokrasi pemerintahan acap terkesan menjadi ajang pakansi. Ya, karena urgensinya amat rendah: entah menyangkut personal yang berangkat ataupun menyangkut objek yang melatari perjalanan dinas. Bahkan ditengarai perjalanan dinas ini juga acap direkayasa menjadi proyek fiktif.
Di sisi lain, dampak inflatoar kenaikan BBM subsidi ini perlu benar-benar disiasati agar tidak telak-telak menghempaskan daya beli masyarakat. Untuk itu, berbagai aspek yang selama ini membuat industri manufaktur menanggung ekonomi biaya tinggi harus bisa dihilangkan. Aneka pungutan yang tidak perlu atau bahkan liar wajib diberangus. Sanksi tegas terhadap oknum pemerintahan yang membuat industri manufaktur terkondisi menanggung ekonomi biaya tinggi mutlak kudu dikenakan. Dengan demikian, kenaikan harga BBM subsidi bisa diharapkan tidak kelewat besar mendongkrak harga aneka barang dan jasa.
Dengan langkah-langkah seperti itu, kenaikan harga BBM subsidi tidak terasa seperti pil yang kelewat pahit dan tidak pula memabukkan. Artinya, kenaikan harga BBM bisa diharapkan tidak sampai memicu keresahan atau apalagi kerusuhan sosial yang niscaya merusak sendi-sendi kehidupan bersama.***