Geng motor sudah
menjadi penyakit masyarakat. Bukan cuma meresahkan, geng motor juga menumbuhkan
rasa takut. Di mana-mana geng motor menampakkan keberadaan, di situ rasa ngeri
masyarakat terbangkitkan.
Rasa resah, rasa ngeri, rasa takut
masyarakat nyaris sudah menjadi bagian keberadaan geng motor. Ya, karena geng
motor identik dengan aksi kekerasan, kebrutalan, teror, bahkan maut.
Di Jakarta, geng motor tak terkecuali
eksis pula. Dan Jumat pekan lalu, mereka berulah: memperagakan kekerasan dan
kebrutalan. Aksi mereka benar-benar merupakan teror -- karena dilakukan
terencana, terorganisasi rapi, serta melibatkan pelaku sekitar 200-an orang. Di
tujuh titik dalam radius relatif luas, mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum.
Juga menghajar sembarang orang sampai babak-belur. Bahkan seorang korban
kemudian tewas di rumah sakit.
Di kota-kota lain, geng motor juga makin
berani menunjukkan diri sebagai kelompok pelaku keonaran -- dan teror. Bahkan
seperti di Garut, seorang petugas kepolisian pun nyaris menjadi korban. Kalau
saja tidak sigap melawan, petugas itu boleh jadi terkapar menjadi korban
pembacokan atau penusukan anggota geng motor.
Karena itu, wajar jika di mana-mana orang
kini mendesak aparat kepolisian agar menindak geng motor. Bahkan masyarakat
juga berharap kepolisian bukan sekadar bertindak secara kasuistis, melainkan
menumpas keberadaan geng motor hingga ke akar-akarnya. Singkatnya, masyarakat
tak menghendaki geng motor punya ruang hidup. Masyarakat ingin geng motor
dienyahkan dari muka bumi.
Namun geng motor tampaknya tak bisa begitu
saja diberangus hingga benar-benar tamat riwayat. Ibarat rumput liar, geng
motor punya kemampuan untuk survive di tengah keadaan sangat sulit sekalipun --
dan pada saatnya kemudian tumbuh lagi. Maklum, karena geng motor bukan
organisasi resmi. Sebagai wadah perkumpulan atau paguyuban, organisasi mereka
samar-samar saja. Hanya anggota mereka sendiri (in group) yang mengetahui
lekuk-liku perkumpulan tersebut. Itu pun, barangkali, untuk kebanyakan anggota
tidak benar-benar bersifat gamblang.
Karena itu, meski dilumat habis-habisan,
geng motor mungkin tidak akan benar-benar mati. Geng motor akan tetap survive.
Geng motor akan tetap eksis dengan segala bentuk aksi kekerasan atau teror yang
meresahkan masyarakat.
Walhasil, di tengah harapan dan ekspektasi
tinggi masyarakat agar geng motor ditumpas habis, kepolisian tidak punya banyak
pilihan. Tindakan represif tidak bakal menyelesaikan masalah. Bahkan, boleh
jadi, tindakan represif hanya mengundang aksi-aksi perlawanan -- dan itu
berarti aksi-aksi kekerasan atau teror geng motor terhadap masyarakat kian
menjadi-jadi.
Meski begitu, polisi tetap perlu dan urgen
melakukan tindakan tegas terhadap setiap ulah geng motor ini. Tapi itu bukan
terutama sebagai tindakan represi, melainkan lebih merupakan wujud penegakan
hukum.
Nah, selain penegakan hukum, kepolisian
bersama segenap elemen masyarakat perlu melakukan pendekatan dan strategi lain.
Pendekatan dan strategi itu merujuk pada semacam gerakan moral dan kultural
yang membuat geng motor tidak terus menyerupai kelompok sesat -- menabrak
pranata-pranata sosial seperti selama ini. Lewat pendekatan itu, geng motor
harus bisa dibuat insyaf dan berubah menjadi sekadar perkumpulan komunitas
penggemar motor.
Memang, strategi itu tidak bisa segera
menunjukkan hasil. Butuh kesabaran dan ketelatenan untuk mengubah geng motor
menanggalkan perilaku yang menumbuhkan keresahan dan ketakutan masyarakat.***
Jakarta, Februari
2012