20 Februari 2012

Menumpas Geng Motor?


Geng motor sudah menjadi penyakit masyarakat. Bukan cuma meresahkan, geng motor juga menumbuhkan rasa takut. Di mana-mana geng motor menampakkan keberadaan, di situ rasa ngeri masyarakat terbangkitkan.
      
Rasa resah, rasa ngeri, rasa takut masyarakat nyaris sudah menjadi bagian keberadaan geng motor. Ya, karena geng motor identik dengan aksi kekerasan, kebrutalan, teror, bahkan maut.
      
Di Jakarta, geng motor tak terkecuali eksis pula. Dan Jumat pekan lalu, mereka berulah: memperagakan kekerasan dan kebrutalan. Aksi mereka benar-benar merupakan teror -- karena dilakukan terencana, terorganisasi rapi, serta melibatkan pelaku sekitar 200-an orang. Di tujuh titik dalam radius relatif luas, mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum. Juga menghajar sembarang orang sampai babak-belur. Bahkan seorang korban kemudian tewas di rumah sakit.
      
Di kota-kota lain, geng motor juga makin berani menunjukkan diri sebagai kelompok pelaku keonaran -- dan teror. Bahkan seperti di Garut, seorang petugas kepolisian pun nyaris menjadi korban. Kalau saja tidak sigap melawan, petugas itu boleh jadi terkapar menjadi korban pembacokan atau penusukan anggota geng motor.
      
Karena itu, wajar jika di mana-mana orang kini mendesak aparat kepolisian agar menindak geng motor. Bahkan masyarakat juga berharap kepolisian bukan sekadar bertindak secara kasuistis, melainkan menumpas keberadaan geng motor hingga ke akar-akarnya. Singkatnya, masyarakat tak menghendaki geng motor punya ruang hidup. Masyarakat ingin geng motor dienyahkan dari muka bumi.
      
Namun geng motor tampaknya tak bisa begitu saja diberangus hingga benar-benar tamat riwayat. Ibarat rumput liar, geng motor punya kemampuan untuk survive di tengah keadaan sangat sulit sekalipun -- dan pada saatnya kemudian tumbuh lagi. Maklum, karena geng motor bukan organisasi resmi. Sebagai wadah perkumpulan atau paguyuban, organisasi mereka samar-samar saja. Hanya anggota mereka sendiri (in group) yang mengetahui lekuk-liku perkumpulan tersebut. Itu pun, barangkali, untuk kebanyakan anggota tidak benar-benar bersifat gamblang.
      
Karena itu, meski dilumat habis-habisan, geng motor mungkin tidak akan benar-benar mati. Geng motor akan tetap survive. Geng motor akan tetap eksis dengan segala bentuk aksi kekerasan atau teror yang meresahkan masyarakat.
      
Walhasil, di tengah harapan dan ekspektasi tinggi masyarakat agar geng motor ditumpas habis, kepolisian tidak punya banyak pilihan. Tindakan represif tidak bakal menyelesaikan masalah. Bahkan, boleh jadi, tindakan represif hanya mengundang aksi-aksi perlawanan -- dan itu berarti aksi-aksi kekerasan atau teror geng motor terhadap masyarakat kian menjadi-jadi.
      
Meski begitu, polisi tetap perlu dan urgen melakukan tindakan tegas terhadap setiap ulah geng motor ini. Tapi itu bukan terutama sebagai tindakan represi, melainkan lebih merupakan wujud penegakan hukum.
      
Nah, selain penegakan hukum, kepolisian bersama segenap elemen masyarakat perlu melakukan pendekatan dan strategi lain. Pendekatan dan strategi itu merujuk pada semacam gerakan moral dan kultural yang membuat geng motor tidak terus menyerupai kelompok sesat -- menabrak pranata-pranata sosial seperti selama ini. Lewat pendekatan itu, geng motor harus bisa dibuat insyaf dan berubah menjadi sekadar perkumpulan komunitas penggemar motor.
      
Memang, strategi itu tidak bisa segera menunjukkan hasil. Butuh kesabaran dan ketelatenan untuk mengubah geng motor menanggalkan perilaku yang menumbuhkan keresahan dan ketakutan masyarakat.***

Jakarta, Februari 2012