Siap tidak siap,
masyarakat harus menerima kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dalam
waktu dekat ini sebagai kenyataan. Pemerintah, seperti kata Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, tidak punya lagi pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM
subsidi -- karena harga minyak mentah di pasar global terus meningkat
signifikan, sehingga kondisi fiskal pun menjadi tidak sehat akibat beban
subsidi kian membengkak.
Alasan itu bisa dipahami, meski terasa
pahit. Pahit karena kenaikan harga BBM subsidi jelas berdampak mendongkrak
inflasi. Artinya, daya beli masyarakat niscaya terkikis akibat harga aneka
barang dan jasa ikut-ikutan bergerak naik seiring perubahan harga BBM subsidi.
Terlebih jika kenaikan harga BBM subsidi ini terbilang amat signifikan.
Karena itu, setelah nanti harga BBM
subsidi resmi dinaikkan, pemerintah wajib melakukan aneka upaya yang berdampak
membantu menjaga daya beli masyarakat tidak terkikis terlalu dalam akibat
digerus inflasi. Dalam konteks ini, efektivitas anggaran makin relevan dan
makin urgen ditingkatkan. Proyek-proyek yang sekadar menyedot banyak anggaran,
semisal renovasi gedung-gedung pemerintah atau penggantian barang-barang
inventaris para pejabat, wajib diseleksi ketat.
Jika nyata-nyata tidak urgen dan apalagi
tidak relevan, proyek-proyek seperti itu layak disingkirkan atau minimal
ditunda hingga kondisi benar-benar memungkinkan. Adalah tidak lucu, di satu
sisi rakyat dipaksa berkorban memanggung beban kenaikan harga BBM subsidi beserta
dampak ikutannya yang tak terelakkan, tapi di sisi lain anggaran negara justru
tetap saja banyak terkuras oleh proyek-proyek yang tidak relevan dan tidak
urgen bagi kepentingan khalayak luas.
Sejalan dengan itu, proyek-proyek yang
berdampak nyata mendorong produktivitas ekonomi masyarakat luas, entah langsung
maupun tidak langsung, patut diperbanyak. Proyek-proyek infrastruktur,
misalnya, harus memperoleh prioritas pengadaan ataupun sekadar perbaikan.
Terlebih lagi masalah infrastruktur ini sudah sejak lama menjadi faktor yang
begitu nyata menghambat produktivitas ekonomi nasional, entah karena telanjur
banyak rusak atau karena belum tersedia.
Masih dalam kerangka efisiensi anggaran,
berbagai pemborosan dan kebocoran harus bisa lebih ditekan. Dalam konteks ini,
birokrasi pemerintahan harus bisa dibuat makin sehat dan produktif. Berbagai
praktik yang cenderung sekadar menyedot anggaran, sementara manfaat nyata bagi
kepentingan rakyat nyaris nol, mesti diberangus. Perjalanan dinas, misalnya, patut
lebih diseleksi dan lebih disesuaikan dengan tingkat urgensinya.
Selama ini, patut diakui, perjalanan dinas
di lingkungan birokrasi pemerintahan acap terkesan menjadi ajang pakansi. Ya,
karena urgensinya amat rendah: entah menyangkut personal yang berangkat ataupun
menyangkut objek yang melatari perjalanan dinas. Bahkan ditengarai perjalanan
dinas ini juga acap direkayasa menjadi proyek fiktif.
Di sisi lain, dampak inflatoar kenaikan
BBM subsidi ini perlu benar-benar disiasati agar tidak telak-telak
menghempaskan daya beli masyarakat. Untuk itu, berbagai aspek yang selama ini
membuat industri manufaktur menanggung ekonomi biaya tinggi harus bisa
dihilangkan. Aneka pungutan yang tidak perlu atau bahkan liar wajib diberangus.
Sanksi tegas terhadap oknum pemerintahan yang membuat industri manufaktur
terkondisi menanggung ekonomi biaya tinggi mutlak kudu dikenakan. Dengan
demikian, kenaikan harga BBM subsidi bisa diharapkan tidak kelewat besar
mendongkrak harga aneka barang dan jasa.
Dengan langkah-langkah seperti itu,
kenaikan harga BBM subsidi tidak terasa seperti pil yang kelewat pahit dan
tidak pula memabukkan. Artinya, kenaikan BBM bisa diharapkan tidak sampai
memicu keresahan atau apalagi kerusuhan sosial yang niscaya merusak sendi-sendiri
kehidupan bersama.***
Jakarta, 27
Februari 2012