20 Februari 2012

Cermin Adab Kota Besar


Niat Pemda DKI Jakarta mengembalikan trotoar atau pedestrian ke fungsi sebagai ruang bagi mobilitas pejalan kaki patut dimaknai bukan sekadar sebagai langkah penertiban. Niat tersebut juga sebuah koreksi sekaligus pengakuan atas kesalahan selama ini yang membuat pedestrian amburadul tidak karuan. Yang membuat pejalan kaki laiknya warga kelas dua.

Selama ini, hak pejalan kaki menyangkut trotoar atau pedestrian sebagai sarana mobilitas fisik sama sekali tak dihargai. Hak itu terus tersingkirkan oleh kepentingan-kepentingan lain, seperti kegiatan pedagang kakilima, parkir kendaraan bermotor, jasa tambal ban, juga oleh mobilitas pengendara sepeda motor. Karena itu, pedestrian di Jakarta bukan ruang lapang yang menawarkan kenyamanan berjalan kaki.

Penyerobotan atau okupasi ruang pedestrian di ibukota Jakarta ini bukan lagi di satu-dua titik, melainkan menyeluruh. Karena itu, nyaris tak ada pedestrian di berbagai jalur jalan raya yang tidak diokupasi kegiatan lain. Ini bukan hanya melahirkan ketidaknyamanan, melainkan keamanan fisik juga acap terganggu. Pejalan kaki yang notabene merupakan pemangku sah pedestrian harus pintar-pintar bergerak memanfaatkan ruang sempit atau sesak. Terlebih lagi kalau pengguna sepeda motor tampil menyerobot ruang.

Penyerobotan dan okupasi pedestrian itu begitu semena-mena. Sama sekali tanpa adab. Tanpa rasa sungkan ataupun malu. Seolah-olah mereka yang melakukan okupasi adalah pemilik sah ruang pedestrian.

Kalaupun tak sampai diserobot atau diokupasi, seperti di jalan protokol Sudirman dan MH Thamrin, pedestrian di Jakarta tetap saja tidak nyaman. Selain miskin peneduh, banyak permukaan pedestrian yang tidak rata -- entah karena penutup gorong-gorong menyembul, atau karena tak cukup terawat.

Kalangan pejalan kaki sendiri selama ini hanya bisa pasrah. Mereka menerima saja kondisi yang serba tak nyaman dan tidak aman itu. Entah dengan perasaan terpaksa ataupun tidak, mereka nikmati saja kondisi itu. Atau, kalau enggan, ya mereka melepaskan hak sebagai pejalan kaki.

Mungkin karena itu, pedestrian di Jakarta ini -- tidak seperti di kebanyakan kota besar di banyak belahan dunia -- tidak menjadi pilihan banyak orang dalam melakukan mobilitas keseharian. Pedestrian di Jakarta relatif sepi pejalan kaki. Pedestrian di ibukota ini lebih banyak disesaki oleh pedagang kakilima, kendaraan parkir, jasa tambal ban, juga serobotan pengguna sepeda motor. Masing-masing seperti saling menafikan, sehingga pedestrian pun berubah bak rimba raya tempat urang bisa berbuat seenak udel.

Tentu saja, kenyataan itu begitu niscaya menampilkan pemandangan tidak elok bagi harmoni ruang perkotaan Jakarta. Pemandangan di berbagai ruas jalan raya di ibukota ini sarat kesemrawutan dan ketidaktertiban. Bagi orang asing yang terbiasa dengan budaya pedestrian, pemandangan itu niscaya menjadi anomali yang tak bisa dipahami.

Memang sulit bisa dipahami bahwa pedestrian di Jakarta ini ibarat daerah tak bertuan. Pihak pemda sebagai pemegang otoritas seolah melakukan pembiaran. Bahkan kesan yang acap tampil ke permukaan, pihak pemda seolah merestui penyerobotan dan okupasi pedestrian yang menyingkirkan hak pejalan kaki ini. Restu itu terkesankan karena pedagang kakilima ataupun parkir kendaraan bukan saja tidak ditertibkan, melainkan justru ditarik retribusi -- entah resmi ataupun tidak.

Karena itu, niat Pemda DKI Jakarta mengembalikan fungsi trotoar atau pedestrian di seluruh wilayah ibukota ini sebagaimana seharusnya sungguh merupakan angin segar. Niat itu wajib diapresiasi dan didukung semua pihak. Terlebih lagi pihak pemda sendiri tak ingin bergerak sendirian. Pemda ingin melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam menggerakkan penertiban ruang pedestrian ini.

Sebagai ibukota negara, Jakarta memang sudah saatnya memelihara budaya pedestrian sebagaimana lazim dikenal di kota-kota besar dunia. Ini bukan semata soal harmoni, melainkan terutama menjadi tolok ukur adab sebuah kota besar. Masa iya Jakarta dicap tidak beradab?***

Jakarta, 20 Februari 2012