Niat Pemda DKI
Jakarta mengembalikan trotoar atau pedestrian ke fungsi sebagai ruang bagi
mobilitas pejalan kaki patut dimaknai bukan sekadar sebagai langkah penertiban.
Niat tersebut juga sebuah koreksi sekaligus pengakuan atas kesalahan selama ini
yang membuat pedestrian amburadul tidak karuan. Yang membuat pejalan kaki
laiknya warga kelas dua.
Selama ini, hak
pejalan kaki menyangkut trotoar atau pedestrian sebagai sarana mobilitas fisik
sama sekali tak dihargai. Hak itu terus tersingkirkan oleh
kepentingan-kepentingan lain, seperti kegiatan pedagang kakilima, parkir
kendaraan bermotor, jasa tambal ban, juga oleh mobilitas pengendara sepeda
motor. Karena itu, pedestrian di Jakarta bukan ruang lapang yang menawarkan
kenyamanan berjalan kaki.
Penyerobotan atau
okupasi ruang pedestrian di ibukota Jakarta ini bukan lagi di satu-dua titik,
melainkan menyeluruh. Karena itu, nyaris tak ada pedestrian di berbagai jalur
jalan raya yang tidak diokupasi kegiatan lain. Ini bukan hanya melahirkan
ketidaknyamanan, melainkan keamanan fisik juga acap terganggu. Pejalan kaki
yang notabene merupakan pemangku sah pedestrian harus pintar-pintar bergerak
memanfaatkan ruang sempit atau sesak. Terlebih lagi kalau pengguna sepeda motor
tampil menyerobot ruang.
Penyerobotan dan
okupasi pedestrian itu begitu semena-mena. Sama sekali tanpa adab. Tanpa rasa
sungkan ataupun malu. Seolah-olah mereka yang melakukan okupasi adalah pemilik
sah ruang pedestrian.
Kalaupun tak
sampai diserobot atau diokupasi, seperti di jalan protokol Sudirman dan MH
Thamrin, pedestrian di Jakarta tetap saja tidak nyaman. Selain miskin peneduh,
banyak permukaan pedestrian yang tidak rata -- entah karena penutup
gorong-gorong menyembul, atau karena tak cukup terawat.
Kalangan pejalan
kaki sendiri selama ini hanya bisa pasrah. Mereka menerima saja kondisi yang
serba tak nyaman dan tidak aman itu. Entah dengan perasaan terpaksa ataupun
tidak, mereka nikmati saja kondisi itu. Atau, kalau enggan, ya mereka
melepaskan hak sebagai pejalan kaki.
Mungkin karena
itu, pedestrian di Jakarta ini -- tidak seperti di kebanyakan kota besar di
banyak belahan dunia -- tidak menjadi pilihan banyak orang dalam melakukan
mobilitas keseharian. Pedestrian di Jakarta relatif sepi pejalan kaki.
Pedestrian di ibukota ini lebih banyak disesaki oleh pedagang kakilima,
kendaraan parkir, jasa tambal ban, juga serobotan pengguna sepeda motor.
Masing-masing seperti saling menafikan, sehingga pedestrian pun berubah bak
rimba raya tempat urang bisa berbuat seenak udel.
Tentu saja,
kenyataan itu begitu niscaya menampilkan pemandangan tidak elok bagi harmoni
ruang perkotaan Jakarta. Pemandangan di berbagai ruas jalan raya di ibukota ini
sarat kesemrawutan dan ketidaktertiban. Bagi orang asing yang terbiasa dengan
budaya pedestrian, pemandangan itu niscaya menjadi anomali yang tak bisa
dipahami.
Memang sulit bisa
dipahami bahwa pedestrian di Jakarta ini ibarat daerah tak bertuan. Pihak pemda
sebagai pemegang otoritas seolah melakukan pembiaran. Bahkan kesan yang acap
tampil ke permukaan, pihak pemda seolah merestui penyerobotan dan okupasi
pedestrian yang menyingkirkan hak pejalan kaki ini. Restu itu terkesankan
karena pedagang kakilima ataupun parkir kendaraan bukan saja tidak ditertibkan,
melainkan justru ditarik retribusi -- entah resmi ataupun tidak.
Karena itu, niat
Pemda DKI Jakarta mengembalikan fungsi trotoar atau pedestrian di seluruh
wilayah ibukota ini sebagaimana seharusnya sungguh merupakan angin segar. Niat
itu wajib diapresiasi dan didukung semua pihak. Terlebih lagi pihak pemda
sendiri tak ingin bergerak sendirian. Pemda ingin melibatkan berbagai elemen
masyarakat dalam menggerakkan penertiban ruang pedestrian ini.
Sebagai ibukota
negara, Jakarta memang sudah saatnya memelihara budaya pedestrian sebagaimana
lazim dikenal di kota-kota besar dunia. Ini bukan semata soal harmoni,
melainkan terutama menjadi tolok ukur adab sebuah kota besar. Masa iya Jakarta
dicap tidak beradab?***
Jakarta, 20
Februari 2012