Reformasi
birokrasi ternyata bukan obat cespleng bin mujarab. Reformasi birokrasi
terbukti tak serta-merta mampu menghilangkan segala borok di tubuh institusi
pemerintahan. Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
menjadi pembenaran tentang itu. Laporan tersebut gamblang memberi gambaran
bahwa birokrasi pemerintahan tetap banyak dihinggapi praktik penyelewengan atau
penyalahgunaan wewenang.
Adalah banyaknya rekening mencurigakan
yang mengindikasikan masih bobroknya birokrasi pemerintahan ini. PPATK
melaporkan, rekening mencurigakan di tubuh birokrasi ini bertebaran di banyak
kementerian/institusi pemerintahan. Selama Februari ini saja, PPATK mendeteksi
53 nama calon pejabat eselon I dan eselon II di beberapa kementerian/lembaga
pemerintah memiliki rekening mencurigakan. Ditarik ke rentang lebih lebar,
yakni dalam periode dua tahun terakhir, PPATK mencatat 86.264 laporan transaksi
mencurigakan di tubuh birokrasi pemerintahan ini.
Transaksi dan rekening-rekening itu
mencurigakan karena tergolong tidak wajar menurut standar kelayakan pegawai
pemerintah. Bagaimanapun tidak masuk akal pegawai pemerintah -- apalagi eselon
rendahan -- terlibat transaksi keuangan hingga bernilai miliaran rupiah. Juga tidak
wajar jika mereka memiliki rekening berisi dana bejibun tanpa penjelasan yang
sah atau meyakinkan mengenai sumber penghasilan lain di luar gaji rutin.
Yang menyedihkan, rekening gendut alias
tidak wajar ini tak hanya ditemukan di kalangan pegawai eselon atas. Bahkan di
kalangan pegawai muda pun, rekening mencurigakan tak terkecuali bertebaran.
Ini, sekali lagi, merupakan indikasi bahwa birokrasi masih terkontaminasi
praktik-praktik tidak sehat.
Secara konseptual, reformasi birokrasi
yang disiapkan pemerintah mungkin sudah bagus. Tapi dalam praktik, boleh jadi
konsep reformasi birokrasi ini mengalami banyak deviasi atau bahkan
penyelewengan. Terlebih jika pengawasan dan evaluasi tak benar-benar efektif
dan tak konsisten dilaksanakan.
Karena itu, reformasi birokrasi masih
perlu menerapkan konsep dan strategi tambahan. Dalam konteks ini, rencana
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menerapkan mekanisme pelaporan
kekayaan terhadap setiap pegawai pemerintah -- tak lagi hanya meliputi pegawai
eselon I dan eselon II seperti selama ini -- patut diacungi jempol. Lewat
mekanisme tersebut, perubahan kekayaan setiap pegawai pemerintah -- seiring
perjalanan karier mereka -- bisa dipantau dan dikontrol.
Tentu, kekayaan pegawai pemerintah yang
tergolong tidak wajar patut ditindaklanjuti. Institusi terkait berkewajiban
melakukan penyelidikan sampai diperoleh kesimpulan apakah pegawai bersangkutan
terlibat tindakan melawan hukum atau tidak.
Tapi soalnya, itu pasti tidak mudah.
Paling tidak, penyelidikan atas kekayaan pegawai ini merepotkan -- terutama
jika mengingat jumlah pegawai sendiri yang jelas-jelas tidak kecil. Lebih dari
itu, sebagaimana terasa menjadi kelemahan selama ini, metode tersebut amat
bergantung kepada komitmen pimpinan maupun institusi terkait. Bukankah selama
ini banyak laporan PPATK tentang rekening gendut pejabat pemerintahan akhirnya
hanya teronggok di laci karena institusi bersangkutan -- entah karena alasan
apa -- terkesan enggan melakukan tindak lanjut?
Karena itu, penerapan metode pembuktian
terbalik menjadi relevan dan urgen. Pembuktian terbalik bisa diandalkan lebih
efektif dan efisien dalam menangkal segala tindakan melawan hukum yang
melahirkan fenomena transaksi mencurigakan dan rekening gendut di tubuh
birokrasi ini.
Nah, untuk itu, pemimpin nasional dituntut
memiliki kemauan politik. Sayangnya, sejauh ini tanda-tanda tentang kemauan
politik itu tak terlihat.***
Jakarta, 9
Februari 2012