10 Februari 2012

Rekening Gendut Pegawai Pemerintah


Reformasi birokrasi ternyata bukan obat cespleng bin mujarab. Reformasi birokrasi terbukti tak serta-merta mampu menghilangkan segala borok di tubuh institusi pemerintahan. Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi pembenaran tentang itu. Laporan tersebut gamblang memberi gambaran bahwa birokrasi pemerintahan tetap banyak dihinggapi praktik penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang.

Adalah banyaknya rekening mencurigakan yang mengindikasikan masih bobroknya birokrasi pemerintahan ini. PPATK melaporkan, rekening mencurigakan di tubuh birokrasi ini bertebaran di banyak kementerian/institusi pemerintahan. Selama Februari ini saja, PPATK mendeteksi 53 nama calon pejabat eselon I dan eselon II di beberapa kementerian/lembaga pemerintah memiliki rekening mencurigakan. Ditarik ke rentang lebih lebar, yakni dalam periode dua tahun terakhir, PPATK mencatat 86.264 laporan transaksi mencurigakan di tubuh birokrasi pemerintahan ini.

Transaksi dan rekening-rekening itu mencurigakan karena tergolong tidak wajar menurut standar kelayakan pegawai pemerintah. Bagaimanapun, tidak masuk akal pegawai pemerintah - apalagi eselon rendahan - terlibat transaksi keuangan hingga bernilai miliaran rupiah. Juga tidak wajar jika mereka memiliki rekening berisi dana bejibun tanpa penjelasan yang sah atau meyakinkan mengenai sumber penghasilan lain di luar gaji rutin.

Yang menyedihkan, rekening gendut alias tidak wajar ini tak hanya ditemukan di kalangan pegawai eselon atas. Bahkan di kalangan pegawai muda pun, rekening mencurigakan tak terkecuali bertebaran. Ini, sekali lagi, merupakan indikasi bahwa birokrasi masih terkontaminasi praktik-praktik tidak sehat.

Secara konseptual, reformasi birokrasi yang disiapkan pemerintah mungkin sudah bagus. Tapi dalam praktik, boleh jadi konsep reformasi birokrasi ini mengalami banyak deviasi atau bahkan penyelewengan. Terlebih jika pengawasan dan evaluasi tak benar-benar efektif dan tak konsisten dilaksanakan.

Karena itu, reformasi birokrasi masih perlu menerapkan konsep dan strategi tambahan. Dalam konteks ini, rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menerapkan mekanisme pelaporan kekayaan terhadap setiap pegawai pemerintah - tak lagi hanya meliputi pegawai eselon I dan eselon II seperti selama ini - patut diacungi jempol. Lewat mekanisme tersebut, perubahan kekayaan setiap pegawai pemerintah - seiring perjalanan karier mereka - bisa dipantau dan dikontrol.
Tentu, kekayaan pegawai pemerintah yang tergolong tidak wajar patut ditindaklanjuti. Institusi terkait berkewajiban melakukan penyelidikan sampai diperoleh kesimpulan apakah pegawai bersangkutan terlibat tindakan melawan hukum atau tidak.

Tapi soalnya, itu pasti tidak mudah. Paling tidak, penyelidikan atas kekayaan pegawai ini merepotkan - terutama jika mengingat jumlah pegawai sendiri yang jelas-jelas tidak kecil. Lebih dari itu, sebagaimana terasa menjadi kelemahan selama ini, metode tersebut amat bergantung pada komitmen pimpinan maupun institusi terkait. Bukankah selama ini banyak laporan PPATK tentang rekening gendut pejabat pemerintahan akhirnya hanya teronggok di laci karena institusi bersangkutan - entah karena alasan apa - terkesan enggan melakukan tindak lanjut?

Karena itu, penerapan metode pembuktian terbalik menjadi relevan dan urgen. Pembuktian terbalik bisa diandalkan lebih efektif dan efisien dalam menangkal segala tindakan melawan hukum yang melahirkan fenomena transaksi mencurigakan dan rekening gendut di tubuh birokrasi ini.

Nah, untuk itu, pemimpin nasional dituntut memiliki kemauan politik. Sayangnya, sejauh ini tanda-tanda tentang kemauan politik itu tak terlihat.***