Hasil seleksi tahap kedua calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)/Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) layak diapreasiasi. Meski beberapa tahapan masih
harus dilalui, hasil seleksi tahap kedua ini serta-merta menerbitkan harapan
positif. Harapan itu merujuk ke arah kelembagaan penyelenggara dan pengawas
pemilu yang tidak saja kredibel, tetapi terutama independen dan berintegritas.
Karakteristik kelembagaan penyelenggara dan pengawas pemilu seperti itu
sungguh vital karena menjamin hasil pemilu benar-benar memenuhi syarat
demokrasi: jujur, fair, dan legitimate. Dengan demikian, perhelatan demokrasi
yang begitu mahal dan melelahkan itu niscaya tidak sia-sia. Tidak sia-sia dalam
arti aspirasi rakyat secaya objektif benar-benar tersalurkan dan terakomodasi.
Harapan positif tentang sosok kelembagaan penyelenggara dan pengawas pemilu
yang menjamin proses demokrasi itu tertoreh karena hasil seleksi tahap kedua
menyingkirkan muka-muka lama sehingga mereka praktis tak bakal bisa terus
berkiprah sebagai pengendali KPU/Bawaslu. Panitia seleksi menyatakan
figur-figur lama alias petahana (incumbent) tidak lolos seleksi.
Kenyataan itu sungguh fundamental karena serta-merta menumbuhkan keyakinan
positif. Yaitu bahwa kelembagaan penyelenggara dan pengawas pemilu ke depan ini
bisa bersih dari "polusi" yang dapat membuat hasil pemilu tidak fair,
sarat rekayasa dan kecurangan, serta tidak legitimate. Keyakinan tersebut wajar
adanya dengan merujuk kepada Pemilu 2009 yang notabene dikeluhkan banyak pihak
sebagai tidak memenuhi syarat demokrasi akibat kelembagaan penyelenggara pemilu
diduga kuat terkontaminasi "polusi".
Jadi, merujuk kepada hasil Pemilu 2009, figur-figur petahana sudah
kehilangan kredibilitas untuk kembali berkiprah di lembaga penyelenggara dan
pengawas pemilu. Karena itu, sekali lagi, hasil seleksi tahap kedua calon
anggota KPU/Bawaslu sungguh layak diapresiasi.
Memang, hasil seleksi tahap kedua itu punya konsekuensi tersendiri. Karena
muka-muka lama tak lagi duduk dalam kepengurusan penyelenggara dan pengawas
pemilu, pengendali KPU/Bawaslu ke depan ini menjadi miskin pengalaman. Ibarat
pesawat terbang, "awak kabin" KPU/Bawaslu yang baru nanti tidak
memiliki cukup jam terbang.
Tetapi bagi pengendali KPU/Bawaslu, soal jam terbang tidak bersifat mutlak.
Lagi pula urusan teknis administratif, yang notabene menyaratkan jam terbang,
bukan terutama berada di pundak anggota-anggota KPU/Bawaslu. Bagaimanapun,
peran mereka lebih di tataran kebijakan. Sementara soal-soal teknis
administratif lebih merupakan tanggung jawab sekjen.
Nah, posisi sekjen sendiri diemban birokrat senior yang diangkat presiden.
Sebagai birokrat senior, tentu sosok sekjen ini sudah mumpuni punya cukup
kapasitas dan jam terbang untuk menangani urusan teknis di KPU/Bawaslu.
Jadi, tak perlu risau oleh tersingkirnya figur-figur petahana untuk
keanggotaan KPU/Bawaslu ke depan ini. Lagi pula, figur-figur tersisa bagi calon
anggota KPU/Bawaslu sendiri tak miskin-miskin amat dalam soal pengalaman
mengurusi hajat pemilu ini. Paling tidak, karena mereka merupakan sosok-sosok
yang selama ini menunjukkan perhatian lebih terhadap penyelenggaraan pemilu.
Bahkan sebagian calon yang tersisa ini merupakan pelaksana penyelenggaraan
pemilu di daerah. Artinya, mereka jelas punya cukup pengalaman sebagai bekal
untuk berkiprah menjadi pengendali KPU/Bawaslu ke depan ini.
Atas dasar itu pula, proses seleksi calon anggota penyelenggara dan
pengawas pemilu kali ini bisa diharapkan menjadi momentum ke arah terwujudnya
kelembagaan KPU/Bawaslu yang independen, kredibel, dan berintegritas.
Figur-figur yang kelak terpilih bisa diharapkan tidak membuat kelembagaan
KPU/Bawaslu menjadi subordinat atau apalagi terkooptasi kepentingan
kekuasaan.***