Tindakan polisi
membekuk Jhon Kei, yang disebut-sebut terlibat aksi pembunuhan seorang
pengusaha di Jakarta, layak diapresiasi. Tindakan tersebut merupakan pertanda
bahwa polisi sedang menegakkan hukum sekaligus memerangi premanisme.
Tindakan polisi memberangus premanisme ini
juga merupakan bukti bahwa mereka masih memiliki kemauan menegakkan ketertiban,
ketenteraman, dan keamanan masyarakat. Bagi publik, itu sungguh melegakan
karena selama ini ketertiban, ketenteraman, dan keamanan hidup bermasyarakat
acap terkoyak oleh aksi-aksi premanisme.
Jadi, kemauan polisi memberangus
premanisme ini sekaligus menjadi jawaban atas keraguan publik selama ini
menyangkut integritas melindungi masyarakat. Juga menghapus sinisme bahwa
polisi telanjur tercemari oleh premanisme.
Memang, selama ini premanisme seolah tak
tersentuh (untouchable) penindakan hukum. Kepolisian acap seolah tutup mata
terhadap aksi-aksi premanisme. Kepolisian sering seperti melakukan pembiaran
terhadap tindakan-tindakan premanisme. Sampai-sampai tumbuh sinisme di
masyarakat bahwa polisi sudah menjadi bagian premanisme. Bahwa polisi
memelihara kelompok-kelompok preman untuk kepentingan yang bersifat ekonomi.
Karena seperti tak tersentuh penindakan
hukum, kelompok-kelompok preman pun seolah-olah sakti mandraguna. Tapi justru
itu pula, sinisme terhadap polisi makin menjadi-jadi. Di masyarakat berkembang
penilaian negatif bahwa kelompok-kelompok preman tak lain adalah "tangan
kotor" kepolisian. Maksudnya, di baik aksi-aksi kelompok preman, polisi
turut berperan atau minimal secara tidak langsung memberi restu. Termasuk dalam
aksi-aksi preman kelas teri yang biasa memalak sopir angkot ataupun pedagang
kakilima!
Sinisme sekaligus stigma seperti itu jelas
tidak sehat. Kebanggaan korps kepolisian secara keseluruhan menjadi luntur.
Penghargaan masyarakat terhadap institusi kepolisian juga menjadi rendah.
Terlebih lagi sejumlah survei menempatkan institusi kepolisian di urutan atas
dalam indeks korupsi di Indonesia.
Karena itu, sekali lagi, tindakan polisi
membekuk John Kei, yang selama ini terkesan "tak tersentuh", sungguh
melegakan. Terlebih jika memang betul merupakan bagian perang polisi melawan
premanisme: tindakan itu sungguh membesarkan hati. Ini bukan hanya bagi
masyarakat yang amat mendambakan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan
sosial, melainkan juga bagi segenap jajaran korps kepolisian.
Perang melawan premanisme, bagi korps
kepolisian, adalah kebanggaan dan kehormatan. Perang itu niscaya mereka hayati
sebagai tindakan memulihkan kepercayaan dan martabat kepolisian di mata publik.
Karena itu, perang tersebut niscaya mereka jalani dengan penuh gairah
menyala-nyala.
Justru itu pula, perang melawan premanisme
ini tak boleh setengah hati. Jangan pula sekadar hangat-hangat tahi ayam.
Apalagi hanya dilakukan sebatas terhadap John Kei.
Dengan kata lain, perang polisi memerangi
premanisme ini harus bersifat total: dilakukan hingga ke pelosok-pelosok
daerah, serta ditujukan terhadap premanisme terorganisasi maupun premanisme
kelas teri. Perang ini juga diharapkan merupakan shock treatment agar kelak
pelaku-pelaku premanisme tidak kambuh, dan bibit-bibit baru preman juga tidak tumbuh bersemi.
Memang, sebagai bagian kehidupan sosial,
preman dan premanisme niscaya tak bisa dihapuskan sama sekali. Namun penindakan
hukum tetap beralasan dan urgen dilakukan. Bukan saja karena Indonesia
merupakan negara hukum, melainkan juga karena penindakan hukum secara tegas dan
lugas bisa diharapkan mampu menekan premanisme tidak menjadi penyakit
masyarakat yang membuat kehidupan sosial tidak tenteram dan tidak aman.***
Jakarta, 19
Februari 2012