19 Februari 2012

Perang Melawan Premanisme


Tindakan polisi membekuk Jhon Kei, yang disebut-sebut terlibat aksi pembunuhan seorang pengusaha di Jakarta, layak diapresiasi. Tindakan tersebut merupakan pertanda bahwa polisi sedang menegakkan hukum sekaligus memerangi premanisme.
      
Tindakan polisi memberangus premanisme ini juga merupakan bukti bahwa mereka masih memiliki kemauan menegakkan ketertiban, ketenteraman, dan keamanan masyarakat. Bagi publik, itu sungguh melegakan karena selama ini ketertiban, ketenteraman, dan keamanan hidup bermasyarakat acap terkoyak oleh aksi-aksi premanisme.
      
Jadi, kemauan polisi memberangus premanisme ini sekaligus menjadi jawaban atas keraguan publik selama ini menyangkut integritas melindungi masyarakat. Juga menghapus sinisme bahwa polisi telanjur tercemari oleh premanisme.
      
Memang, selama ini premanisme seolah tak tersentuh (untouchable) penindakan hukum. Kepolisian acap seolah tutup mata terhadap aksi-aksi premanisme. Kepolisian sering seperti melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan premanisme. Sampai-sampai tumbuh sinisme di masyarakat bahwa polisi sudah menjadi bagian premanisme. Bahwa polisi memelihara kelompok-kelompok preman untuk kepentingan yang bersifat ekonomi.
      
Karena seperti tak tersentuh penindakan hukum, kelompok-kelompok preman pun seolah-olah sakti mandraguna. Tapi justru itu pula, sinisme terhadap polisi makin menjadi-jadi. Di masyarakat berkembang penilaian negatif bahwa kelompok-kelompok preman tak lain adalah "tangan kotor" kepolisian. Maksudnya, di baik aksi-aksi kelompok preman, polisi turut berperan atau minimal secara tidak langsung memberi restu. Termasuk dalam aksi-aksi preman kelas teri yang biasa memalak sopir angkot ataupun pedagang kakilima!
      
Sinisme sekaligus stigma seperti itu jelas tidak sehat. Kebanggaan korps kepolisian secara keseluruhan menjadi luntur. Penghargaan masyarakat terhadap institusi kepolisian juga menjadi rendah. Terlebih lagi sejumlah survei menempatkan institusi kepolisian di urutan atas dalam indeks korupsi di Indonesia.
      
Karena itu, sekali lagi, tindakan polisi membekuk John Kei, yang selama ini terkesan "tak tersentuh", sungguh melegakan. Terlebih jika memang betul merupakan bagian perang polisi melawan premanisme: tindakan itu sungguh membesarkan hati. Ini bukan hanya bagi masyarakat yang amat mendambakan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan sosial, melainkan juga bagi segenap jajaran korps kepolisian.
      
Perang melawan premanisme, bagi korps kepolisian, adalah kebanggaan dan kehormatan. Perang itu niscaya mereka hayati sebagai tindakan memulihkan kepercayaan dan martabat kepolisian di mata publik. Karena itu, perang tersebut niscaya mereka jalani dengan penuh gairah menyala-nyala.
      
Justru itu pula, perang melawan premanisme ini tak boleh setengah hati. Jangan pula sekadar hangat-hangat tahi ayam. Apalagi hanya dilakukan sebatas terhadap John Kei.
      
Dengan kata lain, perang polisi memerangi premanisme ini harus bersifat total: dilakukan hingga ke pelosok-pelosok daerah, serta ditujukan terhadap premanisme terorganisasi maupun premanisme kelas teri. Perang ini juga diharapkan merupakan shock treatment agar kelak pelaku-pelaku premanisme tidak kambuh, dan bibit-bibit baru preman  juga tidak tumbuh bersemi.
      
Memang, sebagai bagian kehidupan sosial, preman dan premanisme niscaya tak bisa dihapuskan sama sekali. Namun penindakan hukum tetap beralasan dan urgen dilakukan. Bukan saja karena Indonesia merupakan negara hukum, melainkan juga karena penindakan hukum secara tegas dan lugas bisa diharapkan mampu menekan premanisme tidak menjadi penyakit masyarakat yang membuat kehidupan sosial tidak tenteram dan tidak aman.***

Jakarta, 19 Februari 2012