Manuver Koalisi Merah Putih (KMP) -- diwakili Prabowo Subianto -- melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Kamis pekan lalu (29/1), menjadi angin segar bagi kehidupan politik di dalam negeri. Manuver itu bukan cuma memupus keraguan bahwa Prabowo masih menyimpan bara rivalitas dengan Jokowi, melainkan juga memastikan bahwa KMP tidak ikut terjebak pro-kontra soal pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri dalam hari-hari belakangan ini.
Isu pelantikan Budi Gunawan sungguh telah membuat gaduh jagat politik di dalam negeri, sekaligus mengoyak harmoni dua institusi penegak hukum: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kedua institusi tersebut terseret ke dalam suasana saling menafikan atau bahkan saling melemahkan.
Bagi Jokowi sendiri, pro-kontra soal pelantikan Budi Gunawan beserta ekses yang menyertainya terhadap kelembagaan KPK dan Polri ini tak pelak membuat suasana politik menjadi pengap. Dia mendapat tekanan politik dari kubu pro maupun kubu kontra.
Namun kondisi pengap dan menekan itu jadi berkurang berkat angin segar yang dihembuskan KMP melalui kunjungan Prabowo -- dan sebelumnya Aburizal Bakrie ke Istana Negara di Jakarta.
Bagi Jokowi, pertemuan dengan Prabowo maupun Aburizal melegakan, karena menjadi pegangan bahwa KMP tidak ikut menekannya agar melantik atau tidak melantik Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Karena itu, Jokowi pun niscaya kemudian bisa jernih memetakan masalah sekaligus menimbang dan mengambil keputusan soal Budi Gunawan ini: membatalkan atau tetap melantiknya menjadi Kapolri. Kejernihan dalam mengambil keputusan ini penting, karena kedua pilihan itu -- melantik atau membatalkan pelantikan Budi Gunawan -- sungguh pelik.
Kedua pilihan itu pelik, karena masing-masing punya konsekuensi politik maupun konsekuensi konstitusional. Jika memilih melantik Budi Gunawan, berarti Jokowi memenuhi kewajiban konstitusional -- karena usulannya tentang Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri sudah direstui DPR. Keputusan DPR tentang itu tak bisa diabaikan karena keputusan tersebut secara konstitusional menjadi representasi sikap seluruh rakyat.
Selain memenuhi tuntutan konstitusional, pilihan Jokowi melantik Budi Gunawan juga sekaligus mengakomodasi tekanan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Desakan atau bahkan tekanan KIH sulit diabaikan karena mereka merupakan pendukung Jokowi.
Tetapi pilihan melantik Budi Gunawan punya konsekuensi politik tersendiri yang tidak kalah serius bagi Jokowi: dukungan publik terhadapnya niscaya gembos. Padahal sebelum ini dukungan publik telah melicinkan jalan bagi Jokowi dalam meraih kursi RI-1.
Alhasil, tekanan publik agar Budi Gunawan tidak dilantik menjadi Kapolri juga tak bisa diabaikan oleh Jokowi. Mengabaikan tuntutan itu, bagi Jokowi, bisa berdampak melemahkan dukungan rakyat.
Konsekuensi itu sungguh tak bisa dipandang remeh. Sejumlah survei sudah mengingatkan bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi menyusut dibanding saat dia memenangi pilpres. Jadi, Jokowi sangat berkepentingan menjaga dukungan rakyat agar tidak kian tergerus.
Dalam suasana pelik seperti itu, bisa dibayangkan jika KMP ikut-ikutan menekan Jokowi menyangkut pelantikan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Entah KMP mendukung ataupun menolak pelantikan itu, bagi Jokowi dampak tekanan itu sama saja: suasana politik benar-benar pelik sekaligus menyesakkan.
Karena itu, sekali lagi, sikap KMP tidak ikut menekan soal pelantikan Budi Gunawan sungguh menjadi angin segar yang melegakan Jokowi. Bahwa sikap mendukung atau menentang baru diambil KMP setelah Jokowi mengambil keputusan soal Budi Gunawan, itu soal nanti.
KMP sendiri sebenarnya hampir pasti sudah punya pilihan sikap tentang Budi Gunawan ini. Cuma KMP tak ingin pilihan tersebut ikut menekan Jokowi secara politik.
Sikap KMP itu menjadi bukti bahwa mereka tidak melulu mengusung kepentingan politik mereka sendiri, melainkan terutama konstruktif bagi kehidupan rakyat banyak. Karena itu, dalam berhadapan dengan pemerintah, sikap KMP tak sembarangan dukung namun tidak pula asal oposan.***
Jakarta, 2 Februari 2015
Isu pelantikan Budi Gunawan sungguh telah membuat gaduh jagat politik di dalam negeri, sekaligus mengoyak harmoni dua institusi penegak hukum: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kedua institusi tersebut terseret ke dalam suasana saling menafikan atau bahkan saling melemahkan.
Bagi Jokowi sendiri, pro-kontra soal pelantikan Budi Gunawan beserta ekses yang menyertainya terhadap kelembagaan KPK dan Polri ini tak pelak membuat suasana politik menjadi pengap. Dia mendapat tekanan politik dari kubu pro maupun kubu kontra.
Namun kondisi pengap dan menekan itu jadi berkurang berkat angin segar yang dihembuskan KMP melalui kunjungan Prabowo -- dan sebelumnya Aburizal Bakrie ke Istana Negara di Jakarta.
Bagi Jokowi, pertemuan dengan Prabowo maupun Aburizal melegakan, karena menjadi pegangan bahwa KMP tidak ikut menekannya agar melantik atau tidak melantik Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Karena itu, Jokowi pun niscaya kemudian bisa jernih memetakan masalah sekaligus menimbang dan mengambil keputusan soal Budi Gunawan ini: membatalkan atau tetap melantiknya menjadi Kapolri. Kejernihan dalam mengambil keputusan ini penting, karena kedua pilihan itu -- melantik atau membatalkan pelantikan Budi Gunawan -- sungguh pelik.
Kedua pilihan itu pelik, karena masing-masing punya konsekuensi politik maupun konsekuensi konstitusional. Jika memilih melantik Budi Gunawan, berarti Jokowi memenuhi kewajiban konstitusional -- karena usulannya tentang Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri sudah direstui DPR. Keputusan DPR tentang itu tak bisa diabaikan karena keputusan tersebut secara konstitusional menjadi representasi sikap seluruh rakyat.
Selain memenuhi tuntutan konstitusional, pilihan Jokowi melantik Budi Gunawan juga sekaligus mengakomodasi tekanan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Desakan atau bahkan tekanan KIH sulit diabaikan karena mereka merupakan pendukung Jokowi.
Tetapi pilihan melantik Budi Gunawan punya konsekuensi politik tersendiri yang tidak kalah serius bagi Jokowi: dukungan publik terhadapnya niscaya gembos. Padahal sebelum ini dukungan publik telah melicinkan jalan bagi Jokowi dalam meraih kursi RI-1.
Alhasil, tekanan publik agar Budi Gunawan tidak dilantik menjadi Kapolri juga tak bisa diabaikan oleh Jokowi. Mengabaikan tuntutan itu, bagi Jokowi, bisa berdampak melemahkan dukungan rakyat.
Konsekuensi itu sungguh tak bisa dipandang remeh. Sejumlah survei sudah mengingatkan bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi menyusut dibanding saat dia memenangi pilpres. Jadi, Jokowi sangat berkepentingan menjaga dukungan rakyat agar tidak kian tergerus.
Dalam suasana pelik seperti itu, bisa dibayangkan jika KMP ikut-ikutan menekan Jokowi menyangkut pelantikan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Entah KMP mendukung ataupun menolak pelantikan itu, bagi Jokowi dampak tekanan itu sama saja: suasana politik benar-benar pelik sekaligus menyesakkan.
Karena itu, sekali lagi, sikap KMP tidak ikut menekan soal pelantikan Budi Gunawan sungguh menjadi angin segar yang melegakan Jokowi. Bahwa sikap mendukung atau menentang baru diambil KMP setelah Jokowi mengambil keputusan soal Budi Gunawan, itu soal nanti.
KMP sendiri sebenarnya hampir pasti sudah punya pilihan sikap tentang Budi Gunawan ini. Cuma KMP tak ingin pilihan tersebut ikut menekan Jokowi secara politik.
Sikap KMP itu menjadi bukti bahwa mereka tidak melulu mengusung kepentingan politik mereka sendiri, melainkan terutama konstruktif bagi kehidupan rakyat banyak. Karena itu, dalam berhadapan dengan pemerintah, sikap KMP tak sembarangan dukung namun tidak pula asal oposan.***
Jakarta, 2 Februari 2015