05 Februari 2015

Maling di Kafilah Haji

Pembentukan badan khusus pengelola dana haji harus segera diwujudkan. Sama sekali tak beralasan hal tersebut ditunda-tunda. Pertama, karena pembentukan badan khusus ini merupakan amanat Undang-undang  Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Kedua, karena pembentukan badan khusus itu merupakan wujud respons dan komitmen pemerintah terhadap  tekanan banyak kalangan: memperbaiki kekeliruan selama ini menyangkut pengelolaan dana haji. Dengan membentuk badan khusus, dana haji yang kini berjumlah sekitar Rp 73 triliun tidak lagi dikelola secara amatiran serta memberi manfaat optimal bagi jemaah haji.

Dana haji memang wajib dikelola secara profesional. Bukan cuma karena dana tersebut merupakan amanat atau titipan jemaah haji guna memastikan pelayanan pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji benar-benar optimal. Lebih dari itu, karena pengelolaan yang profesional juga lebih bisa memenuhi asas akuntabilitas.

Artinya, dana haji benar-benar dikelola secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, semua pihak bisa mengetahui dan mengontrol berbagai hal -- entah soal penggunaan, teknis pengelolaan, ataupun  benefit-benefit yang diperoleh.

Karena itu pula, menunda-nunda pembentukan badan khusus pengelola dana haji serta-merta mengundang kekhawatiran atau bahkan syak wasangka publik: bahwa pemerintah -- persisnya Kementerian Agama -- belum  ikhlas melepas pengeloalan dana haji ini sebagaimana perintah undang-undang.

Perintah itu sendiri pada dasarnya merupakan koreksi atas kekeliruan selama ini: dana haji dikelola Kementerian Agama. Padahal lembaga tersebut tidak cukup memiliki kapabilitas untuk mengelola dana haji yang begitu besar secara profesional dan akuntabel.

Kelemahan itu membuat pengelolaan dana haji selama ini cenderung amatiran, tidak transparan, serta tidak memenuhi asas akuntabilitas. Itu pula yang membuat dana haji rawan tindak penyelewengan, seperti praktik penggelembungan harga (mark up) dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji -- entah menyangkut transportasi, katering, pemondokan, kesehatan, dan banyak lagi.

Dana haji juga digunakan secara tidak semena-mena oleh mereka yang memiliki otoritas akses. Itu tecermin dari adanya  sejumlah orang -- notabene memiliki otoritas menjamah dana haji -- yang terpaksa berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang sekadar diperiksa atau dimintai keterangan, ada pula yang sudah berstatus tersangka.

Oleh sebab itu, sekali lagi, perintah undang-undang harus segera dilaksanakan: wujudkan badan khusus pengelola dana haji. Selain memutus kekeliruan selama ini, tindakan tersebut sekaligus  menjadi ikhtiar strategis untuk mengelola dana haji sesuai kaidah yang memenuhi asas profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas.

Tentu ikhtiar itu pada gilirannya bermuara pada peningkatan kepercayaan masyarakat: bahwa dana haji tidak lagi diperlakukan oknum-oknum pemerintah bak bancakan. Bahwa dana haji memberi manfaat yang benar-benar optimal bagi jemaah haji.

Untuk itu, selain diisi tenaga-tenaga profesional, badan khusus pengelola dana haji ini wajib bersifat otonom. Dia harus terpisah dan steril dari organisasi maupun birokrasi institusi pemerintah yang terlibat  dalam  penyelenggaraan haji, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.

Tentu, kontrol berbagai pihak adalah keniscayaan bagi eksistensi badan khusus ini. Di badan khusus, dana haji tidak boleh tetap bisa digerogori tikus-tikus rakus tak tahu malu.

Praktik maling di kafilah haji benar-benar harus bisa diakhiri.***

Jakarta, 5 Februari 2015