03 Februari 2015

Pertaruhan Dua Seteru

Perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan DPRD DKI Jakarta adalah pertaruhan gengsi. Gengsi siapa berhasil mempermalukan siapa dan siapa menjatuhkan siapa. Perseteruan tersebut juga mempertaruhkan kepentingan masyarakat Jakarta.

Dalam perseteruan itu, DPRD menyodok lewat manuver pengajuan hak angket -- diduga dengan sasaran akhir melengserkan Ahok.
Sementara Ahok menyerang pihak legislatif dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepada lembaga antirasuah itu, Ahok  melaporkan  dugaan "dana siluman" sebesar Rp 12,1 triliun dalam APBD 2015. Ahok juga melaporkan dugaan modus  penyelewengan serupa dalam tiga APBD sebelumnya, mulai tahun anggaran 2012.

Perseteruan Ahok dan DPRD DKI Jakarta ini menguakkan kenyataan bahwa anggaran negara yang transparan dan akuntabel masih sekadar mimpi. Kepentingan-kepentingan sempit tetap saja mewarnai penyusunan anggaran menjadi tidak benar-benar merujuk kepada kepentingan rakyat.

Kepentingan-kepentingan itu selama ini dikompromikan sebegitu rupa, sehingga tak terkuak ke ruang publik. Ironinya, seperti tecermin dalam kisruh perseteruan Ahok-DPRD DKI Jakarta sekarang ini, kepentingan rakyat justru dijadikan label kepentingan-kepentingan sempit itu.

Ahok menyebut kepentingan-kepentingan sempit itu sebagai mata anggaran siluman. Dalam APBD 2014, misalnya, mata anggaran siluman ini adalah proyek pengadaan perangkat pasokan daya listrik bebas gangguan (UPS) di sejumlah sekolah senilai Rp 330 miliar.

Ahok melukiskan mata anggaran siluman masuk APBD karena diselundupkan pihak legislatif setelah pembahasan APBD rampung dan disepakati eksekutif dan DPRD. Dengan itu Ahok ingin menyatakan bahwa selama ini dia kecolongan.

Tapi khusus APBD 2015, Ahok mengaku tidak kecolongan lagi. Dia dapat mengidentifikasi mata anggaran siluman. Itu pula yang membuat dia menolak memberi persetujuan bagi pengesahan APBD 2015, sekaligus menyampaikan ke Kemdagri APBD versi lain -- bukan APBD yang telah dibahas serta disepakati eksekutif dan legislatif dalam forum rapat paripurna DPRD.

Lucunya, pihak legislatif menyebut APBD yang diajukan Ahok ke Kemdagri itu sebagai APBD siluman pula -- karena bukan produk yang telah mereka sepakati bersama eksekutif. Klaim tersebut lantas mereka jadikan sebagai pijakan pengajukan hak angket kepada Ahok.

Ahok membalas manuver itu dengan membeberkan perkara dana siluman ke publik, sekaligus melaporkan dugaan praktik patgulipat anggaran itu ke KPK. Tapi dia beralasan bahwa tindakan melapor ke KPK itu merupakan wujud komitmennya  menegakkan prinsip good governance.

Tetapi kita tidak yakin bahwa Ahok kemarin-kemarin  kecolongan ihwal masuknya dana siluman ke APBD ini. Cuma, barangkali, dia diam saja -- dan tidak ikut menandatangani APBD -- karena tahun lalu posisi dia adalah orang nomor dua alias wagub.

Bahwa sekarang perkara dana siluman ini diungkap, boleh jadi itu karena sekarang Ahok menjadi gubernur sehingga dia lebih leluasa bersuara. Boleh jadi pula, itu merupakan agenda politik Ahok guna meraih simpati publik untuk bekal menghadapi pilkada.

Kita juga menilai tindakan Ahok mengajukan APBD 2015 versi lain ke Kemdagi tak bisa dibenarkan -- apa pun alasannya. Itu karena ketentuan undang-undang menggariskan bahwa APBD yang diajukan ke Kemdagri merupakan produk kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam forum rapat paripurna DPRD.

Kita sangat berharap Ahok dan DPRD bersikap arif dengan tidak melupakan kepentingan masyarakat Jakarta. Kita khawatir, perseteruan itu membuat pelayanan publik di DKI Jakarta menjadi lumpuh -- karena APBD 2015 tak kunjung beroleh pengesahan. Layanan kesehatan melalui program Kartu Jakarta Sehat, misalnya, bisa terhenti. Begitu juga layanan-layanan lain, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Secara moral maupun etis, kepentingan yang lebih besar tidak boleh menjadi korban perseteruan dua pihak semata lantaran masing-masing bernafsu memenangi pertaruhan gengsi.***

Jakarta, 3 Februari 2015