03 Februari 2015

Kurikulum Selera Menteri

Kurikulum pendidikan di Indonesia adalah selera menteri. Siapa yang sedang menjabat menteri urusan pendidikan, maka selera dialah yang menentukan seperti apa kurikulum ini. Karena itu, sejak dulu  kurikulum di Indonesia terus berganti seiring  pergantian menteri.

Tradisi itu tak terkecuali berlanjut di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang ini. Tidak sampai dua bulan sejak mulai menjabat, Mendikbud Anies Baswedan mengeluarkan keputusan yang membatalkan Kurikulum 2013 sekaligus memberlakukan kembali Kurikulum 2006.

Menteri Anies menggariskan, Kurikulum 2006 diterapkan kembali hingga tahun ajaran 2019/2020. Sementara Kurikulum 2013 tak sepenuhnya dibatalkan. Kurikulum 2013 masih diterapkan di 6.221 sekolah yang selama ini memang sudah menerapkannya.

Alhasil, Kurikulum 2013 di luar 6.221 sekolah hanya berumur  satu semester sejak resmi diberlakukan mulai Juli 2014. Begitu mudahnya perubahan kurikulum ini dilakukan. Seolah tanpa beban sama sekali.

Padahal penyiapan sebuah kurikulum jelas memakan banyak energi dan pasti tidak murah. Ada yang menyebutkan, dana yang dihabiskan untuk keperluan penelitian dan proses penulisan Kurikulum 2013 saja mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.

Padahal di luar itu, pelatihan tenaga  guru juga membutuhkan dana tidak kecil. Begitu pula penyiapan buku tak kurang menguras dana. Saat Kurikulum 2013 diputuskan dibatalkan, sekian juta eksemplar buku telanjur dicetak. Kini buku-buku itu hanya teronggok di gudang dan sebagian mungkin menjadi koleksi perpustakaan-perpustakaan.

Mungkin benar, Kurikulum 2013 masih prematur untuk diterapkan. Pemberlakuan kurikulum tersebut boleh jadi tergesa-gesa, karena banyak aspek belum sempurna. Misalnya, seperti diberitakan, kerangka dasar, materi, kemampuan guru, juga distribusi buku tidak meyakinkan alias mengandung banyak kelemahan.

Tetapi penilaian seperti itu mungkin juga lebih karena faktor selera penentu kebijakan sekarang ini.  Sebab Mendikbud M Nuh yang menjadi pendahulu Anies mustahil memberlakukan Kurikulum 2013 jika segala sesuatunya masih prematur.

Jadi, berdasarkan persektif itu, Kurikulum 2013 dibatalkan karena memang tidak cocok dengan selera penentu kebijakan sekarang ini. Kurikulum 2013 bagaimanapun pasti bercita rasa Muhammad Nuh, seperti juga Kurikulum 2006 yang merepresentasikan selera pendahuku Nuh: Mendiknas Bambang Sudibjo.

Kalau saja cita rasa Nuh itu cocok dengan selera penguasa sekarang, sangat boleh jadi Kurikulum 2013 ini tidak dibatalkan. Meski ditemukan kekurangan atau kelemahan, kurikulum tersebut mungkin tetap diberlakukan. Kekurangan atau kelemahan lantas diperbaiki sambil jalan.

Tetapi Menteri Anies lebih merasa sreg dengan Kurikulum 2006 yang notabene tidak mengena di selera Nuh dulu. Karena itu Menteri Anies memutuskan memberlakukan kembali kurikulum tersebut dengan segala konsekuensi yang tidak kecil, terutama secara ekonomi.

Konsekuensi itu sendiri menjadi kerugian negara. Sekian banyak anggaran yang sudah dikeluarkan untuk implementasi Kurikulum 2013 praktis menjadi sia-sia. Sementara kembali ke Kurikulum 2006 pun bukan tanpa biaya besar pula -- antara lain untuk pencetakan dan distribusi buku-buku.

Tanpa perubahan paradigma kebijakan, negara niscaya terus menanggung kerugian itu seiring pergantian menteri. Selama selera menteri yang menjadi paradigma, selama itu pula kurikulum terus berganti-ganti laiknya kertas tisu.***

Jakarta, 3 Februari 2015