17 Februari 2015

RUU Agraria Butuh Keseriusan

RUU Agraria, yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR periode 2014-2019, tak boleh sampai terbengkalai. RUU Agraria harus bisa tuntas dibahas. DPR dan pemerintah wajib menjadikan pembahasan RUU Agraria ini sebagai prioritas utama.

Itu bukan saja karena selama selama beberapa dekade terakhir pembaruan undang-undang pertanahan terus terkatung-katung, melainkan juga terutama lantaran distribusi lahan sudah sangat tidak sehat. Segelintir orang atau badan menguasai begitu banyak lahan, sehingga timbul ketimpangan yang sangat tidak adil di masyarakat luas.

Hasil riset sebuah lembaga, belum lama ini, menyebutkan bahwa 29 taipan nasional kini menguasai lahan perkebunan kepala sawit seluas 5,1 juta hektare. Bayangkan, itu hampir setengah Pulau Jawa yang menghampar seluas 128.297 kilometer persegi.

Di luar itu, jutaan hektar lahan juga dikuasai sejumlah kecil taipan yang itu-itu juga sebagai konsesi usaha pertambangan dan usaha perhutanan.

Pertumbuhan penguasaan lahan oleh segelintir orang itu berlangsung sangat pesat. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit saja mencapai 35 persen.

Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau komplek permukiman -- terutama di Jawa -- juga tak kalah masif dan tak bisa dibendung. Ini juga memperparah distribusi lahan menjadi kian terkosentrasi di tangan pengusaha.

Alhasil, rakyat kebanyakan justru makin termarginalisasi dalam penguasaan tanah ini. Kalangan petani, terutama, sekarang ini rata-rata hanya menguasai lahan tidak sampai 0,5 hektare. Bahkan banyak pula petani yang tidak menguasai tanah.

Itu membuat usaha tani yang mereka tekuni sangat marginal. Ditambah aneka kebijakan selama ini yang tidak bersahabat, usaha tani yang marginal ini sama sekali semakin tidak menyejahterakan petani. Karena itu, petani kita hampir identik dengan kemiskinan.

Itu pula yang membuat profesi petani kian tak diminati oleh keluarga petani sendiri. Banyak petani gurem beralih penghidupan ke sektor informal. Generasi muda di kalangan petani juga cenderung memilih menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, pengojek, atau tenaga serabutan di perkotaan.

Distribusi tanah yang makin timpang ini  jelas tak bisa dibiarkan -- karena tidak sehat dan juga tidak adil. Kondisi tersebut mencemaskan, karena bisa menjadi lahan subur kecemburuan sosial di masyarakat.

Karena itu, pembahasan RUU Agraria tak boleh lagi terkatung-katung. Pemerintah dan DPR wajib mencurahkan segenap energi agar perangkat perundangan tersebut bisa tuntas dibahas dan disahkan menjadi undang-undang seiring prolegnas kali ini.

Pembahasan RUU Agraria ini harus didasari komitmen pemerintah dan DPR untuk mereformasi pertanahan.
Perundangan agraria yang kelak dilahirkan harus menjadi wahana redistribusi lahan.

Dengan itu, penguasaan lahan harus dibuat memenuhi azas kewajaran dan berkeadilan. Ketimpangan tinggi dalam penguasaan lahan sekarang ini harus bisa diakhiri.

Terkait itu pula, perundangan agraria harus mendorong kelembagaan pertanahan berfungsi secara kuat, transparan, modern, dan kredibel.***

Jakarta, 17 Februari 2015