04 Februari 2015

Debutan Jokonomics

Fostur RAPBN-P 2015 boleh jadi merupakan debutan Jokowinomics, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang khas dan spesifik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya, paradigma tersebut secara substantif beda dengan paradigma pemerintahan-pemerintahan terdahulu.

Memang, RAPBN-P 2015 belum selesai dibahas pemerintah bersama DPR. Pembahasan ditargetkan kelar sebelum masa persidangan pertama DPR berakhir -- paling lambat 12 Februari ini.

Meski secara keseluruhan RAPBN-P 2015 masih dalam pembahasan, spirit Jokowinomics sudah gamblang tecermin. Cerminan tersebut antara lain adalah  asumsi-asumsi makro ekonomi yang sudah lebih dulu disepakati bersama pemerintah dan DPR di tingkat komisi.

Selama ini, asumsi-asumsi makro ekonomi dalam APBN terdiri atas kurs rupiah, inflasi, pertumbuhan, dan lifting minyak bumi. Nah, dalam RAPBN-P 2015, asumsi makro ini ditambah dengan tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, indeks gini ratio, dan indeks pembangunan manusia.

Itu menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi punya political will untuk membangun kesejahteraan rakyat secara  terukur. Kesejahteraan rakyat bukan hanya harus meningkat, melainkan juga mesti merata.

Politicall will itu menjadi poin istimewa, karena langsung menyentuh aspek-aspek  mendasar masalah kesejahteraan. Pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya-miskin, juga pembangunan manusia adalah parameter nyata tentang kesejahteraan rakyat.

Political will itu kian gamblang tecermin dalam besaran-besaran angka asumsi. Tingkat pengangguran diasumsikan 5,6 persen, tingkat kemiskinan 10,3 persen, indeks gini ratio 0,4, dan indeks pembangunan manusia 69,4.

Dengan angka-angka itu,  political will pemerintahan Jokowi dalam membangun kesejahteraan rakyat begitu gamblang -- khususnya menyangkat pemerataan hasil pembangunan. Pengangguran dan kemiskinan ditekan. Kesenjangan kaya miskin juga dijaga berada dalam rentang sempit. Sementara pembangunan manusia didongkrak ke tingkat yang relatif memenuhi syarat sejahtera.

Di sisi lain, Jokowinomics ini juga ditandai oleh pemangkasan anggaran subsidi secara drastis. Ini terutama menyangkut subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Dalam RAPBN-P 2015, BBM jenis premium tidak  memperoleh alokasi subsidi. Artinya, harga premium dilepas  kepada mekanisme pasar. Sementara BBM jenis solar tetap disubsidi melalui mekanisme subsidi tetap.

Dalam bahasa politik, itu berarti pemerintahan Jokowi tidak lagi memanja rakyat dengan memberi  perlindungan  dari risiko gejolak harga minyak dunia.

Langkah itu tergolong berani, mengingat BBM adalah isu sensitif karena langsung mempengaruhi denyut kehidupan rakyat dalam berbagai segi. Boleh jadi, keberanian itu ditopang oleh kondisi harga minyak mentah di pasar dunia yang hari-hari ini menapak di level relatif rendah.

Kondisi itu  membuat pencabutan subsidi BBM tak serta-merta berdampak memukul ekonomi masyarakat. Dampak pencabutan subsidi BBM ini niscaya baru terasa menonjok ekonomi masyarakat manakala harga minyak mentah di pasar dunia menjulang ke langit tinggi.

Namun penghapusan subsidi BBM ini berdampak membuka ruang fiskal menjadi lebih lapang. Pemerintah memperoleh tambahan anggaran dalam jumlah  besar -- sekitar Rp 280 triliun -- dari realokasi subsidi BBM.

Itu menjadi modal berharga untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus menebarkan pemerataan pembangunan yang pada gilirannya menorehkan kesejahteraan rakyat.***

Jakarta, 4 Februari 2015