07 Februari 2015

Zona Merah Keamanan di Jakarta

Kehidupan di kota besar -- terlebih kota metropolitan seperti Jakarta -- mustahil steril dari penyakit-penyakit sosial, termasuk soal keamanan. Boleh dikatakan, penyakit-penyakit sosial  merupakan bagian dinamika kehidupan kota besar.

Karena itu, hasil riset The Economist Intelligence Unit yang belum lama ini dipublikasikan, sebenarnya tidak mengejutkan. Riset tersebut menyatakan, Jakarta termasuk kota tidak aman di antara 50 kota besar di dunia yang disurvei.

Posisi Jakarta terpuruk dalam hal minimnya jumlah dokter, tingginya jumlah penderita penyakit demam berdarah, maraknya penipuan dalam perdagangan online, juga jumlah korban tewas dalam kecelakaan lalu lintas.

Tetapi yang membuat kita malu di forum global sekaligus menimbulkan rasa miris adalah bahwa riset itu juga mengungkapkan betapa tindak kejahatan di Jakarta sekarang ini terjadi setiap 10 menit. Dengan itu pula, maka tersimpulkan bahwa Jakarta merupakan kota besar paling tidak aman di dunia! Keamanan di Jakarta sudah masuk zona merah.

Khusus soal keamanan ini, tanpa survei pun kondisinya sudah sangat gamblang. Tindak kejahatan di Jakarta -- terutama di jalanan -- sudah tergolong mengerikan dan sadistis. Kini kejahatan itu bukan lagi pencopetan atau penodongan. Pelaku bahkan tak segan menusuk, membacok, atau menembak korban.

Aksi pembegalan pengendara sepeda motor, yang sekarang ini lumayan sering terjadi, merupakan  salah satu wujud tindak kejahatan sadistis ini. Itu membuat kenyamanan dan keamanan beraktivitas di jalanan Jakarta -- bahkan sudah melebar hingga ke pinggiran seperti Depok dan Bekasi -- benar-benar terampas!

Tak kurang dari Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Unggung Cahyono sendiri mengakui, pelaku kejahatan jalanan di Jakarta sekarang ini sadistis -- terutama terhadap korban yang coba-coba melawan atau berusaha menggagalkan aksi mereka.

Tak bisa tidak, itu merupakan alarm tanda bahaya yang harus cepat disikapi secara arif dan waspada. Itu bukan cuma oleh masyarakat, tetapi terutama oleh aparat keamanan (polisi) dan otoritas pemerintahan.

Operasi pemberantasan tindak kejahatan memang acap digelar pemerintah dan polisi. Kalangan preman dijaring dan bahkan dijebloskan ke sel tahanan kalau mereka terbukti berbuat jahat.

Tetapi operasi-operasi itu tak pernah efektif menekan tindak kejahatan di jalanan. Efek yang diperoleh sekadar meredakan aksi-aksi premanisme untuk sementara waktu. Pada saatnya, aksi premanisme dengan berbagai bentuk tindakan yang bersifat kriminal -- termasuk kejahatan sadistis -- marak lagi.

Sementara itu, kejahatan kerah putih juga tak kurang mengiriskan. Pembobolan rekening bank, misalnya, begitu sering terjadi. Tindak penipuan keuangan melalui aneka modus juga sungguh sudah meresahkan.

Begitu pula kejahatan di dunia maya (cyber crime), khususnya tindak penipuan melalui modus perdagangan online. Demikian maraknya, sampai-sampai aparat keamanan terkesankan kewalahan.

Berbagai bentuk kejahatan itu tentu harus segera bisa ditangani. Memang mustahil kejahatan bisa diberantas hingga sama sekali tak bersisa lagi. Tapi jika tak bisa ditekan ke tingkat yang relatif tidak meresahkan, problem keamanan di Jakarta ini bisa menyurutkan kegiatan ekonomi. Wisatawan, misalnya, pasti enggan melancong ke Jakarta. Investor juga bisa ragu menanamkan modal.

Karena itu, kecakapan menekan tindak kejahatan ini menjadi tolak ukur keberhasilan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam memimpin Jakarta. Mampukah?***

Jakarta, 7 Februari 2015