09 Februari 2015

Ancaman Bioterorisme

Pernyataan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai -- bahwa Indonesia menjadi target serangan bioterorisme -- mengkonfirmasi sinyalemen Prof Dr Chairul Anwar Nidom. Guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menyatakan, kemungkinan serangan bioterorisme sudah masuk ke Indonesia.

Pernyataan kedua tokoh itu tak selayaknya dianggap angin lalu. Sebab sinyalemen itu didasari sejumlah temuan mencurigakan yang bisa saja memang merupakan  indikasi serangan bioterorisme.

Temuan itu, antara lain, penyakit anthrax di Blitar, Jatim. Temuan tersebut aneh, dan karena itu dicurigai sebagai bioterorisme, lantaran  Jatim selama ini  bebas penyakit yang spesifik menyerang ternak sapi itu.

Temuan lain adalah virus ebola pada orangutan. Ini juga ganjil karena virus tersebut mirip dengan ebola yang kini mewabah di beberapa negara Afrika.

Meski begitu, sinyalemen tentang serangan bioterorisme ini tak perlu membuat kita panik. Paling tidak, seperti kata Prof Chairul sendiri, karena kasus-kasus mencurigakan yang sudah ditemukan belum terlihat menimbulkan dampak tertentu yang bersifat destruktif dan merugikan kepentingan kita dalam skala luas.

Serangan bioterorisme tak kalah destruktif dibanding aksi terorisme konvensional yang memanfaatkan persenjataan atau bom.  Bahkan dampak serangan bioterorisme bisa jauh lebih destruktif dan bersifat masif. Kehidupan sosial, politik, ataupun ekonomi suatu negara bisa hancur atau minimal lumpuh oleh serangan bioterorisme ini.

Memanfaatkan mahluk hidup seperti mikroorganisme atau jasad renik berupa bakteri, virus, atau  fungi, dampak serangan bioterorisme memang bisa dahsyat. Dampak tersebut  sudah dibuktikan dalam Perang Dunia II. Jerman dan Jepang bisa gemilang memenangi pertempuran di sejumlah medan -- sebelum akhirnya bertekuk lutut terhadap Sekutu pimpinan AS -- antara lain karena memanfaatkan senjata biologi berupa kuman mematikan.

Dalam konteks masa kini, serangan yang menggunakan senjata biologi itu  sangat mungkin dilakukan pihak tertentu -- bisa institusi negara, korporasi, ataupun organisasi bisnis --  terutama untuk memenangi persaingan ekonomi.

Jadi, di tengah persaingan dahsyat globalisasi saat ini -- yang ditandai dengan perdagangan bebas -- bioterorisme bisa menjadi senjata andalan untuk menghancurkan pesaing. Dalam konteks ini pula sinyalemen Prof Chairul tadi tak bisa dianggap sepi.

Artinya, sekecil apa pun kemungkinan serangan bioterorisme bisa terjadi, sinyalemen itu tetap relevan diindahkan. Terlebih pemerintah sendiri -- persisnya Kementerian Pertahanan -- pernah merilis ihwal ancaman serangan bioterorisme ini di Indonesia.

Tetapi, sekali lagi, kita tak perlu panik.  Yang perlu kita lakukan adalah bersikap waspada dan antisipatif. Dengan dua sikap itu, kita bisa memiliki kesadaran tinggi akan bahaya bioterorisme. Kesadaran tinggi pada gilirannya akan membuat kita cepat tanggap dalam mendeteksi sekaligus siap dan sigap  menangkal  serangan bioterorisme.

Untuk menangkan serangan, kegiatan riset di berbagai lembaga penelitian maupun perguruan tinggi harus diintensifkan dan fokus kepada isu bioterorisme. Selain mengembangkan sistem deteksi yang efektif, kegiatan riset juga harus bisa menghasilkan teknologi antibioterorisme.

Untuk itu pula, riset jangan lagi cenderung dianggap sebagai kegiatan yang hanya memboroskan anggaran. Riset juga tidak boleh diperlakukan  sebagai  kegiatan "orang buangan" di institusi atau korporasi agar mereka tidak mbalelo menurut perspektif subjektif pimpinan.***

Jakarta, 9 Februari 2015