10 Februari 2015

Ironi Negeri Agraris

Suka ataupun tidak, Indonesia sudah bukan lagi negara agraris. Ini begitu terang-benderang tecermin dalam angka impor bahan  pangan yang terus meningkat secara signifikan.

Dalam lima tahun terakhir, volume bahan pangan yang diimpor meningkat 60,03 persen dari 12,36 juta ton menjadi 19,78 juta ton. Bahan pangan yang diimpor ini meliputi, antara lain, beras, gandum dan tepung gandum, gula, kedelai, jagung, susu, buah, sayur, sapi dan daging sapi,  kentang, minyak goreng, cabe, bahkan garam.

Untuk itu semua, devisa yang dihabiskan sungguh tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama satu dekade sejak tahun 2003 nilai impor aneka bahan pangan itu naik empat kali lipat dari US$ 3,34 miliar menjadi US$ 14,90 miliar.

Alhasil, bagaimana mungkin Indonesia tetap bisa disebut  negara agraris, sementara begitu banyak ragam bahan pangan harus diimpor -- notabene dengan  volume yang begitu besar.  Kenyataan itu menunjukkan, produksi pertanian kita semakin hari semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Mengapa?

Pertama, karena di tengah pertambahan populasi penduduk yang terbilang pesat, lahan pertanian justru terus menyusut.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi hamparan perumahan atau kawasan industri rata-rata mencapai 1,5 persen per tahun.

Karena itu, ada yang menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir saja penyusutan lahan pertanian ini mencapai sekitar 5 juta hektar. Lahan yang tersisa kini menghampar sekitar 26 juta hektar, termasuk lahan perkebunan.

Dalam kondisi seperti itu, produktivitas lahan pertanian di dalam negeri hanya meningkat rata-rata 0,06 persen per hektar. Artinya, teknologi pertanian yang diterapkan di negara kita tak banyak mengalami perkembangan.

Ditambah infrastruktur dasar dan organisasi pertanian yang sejak era reformasi seolah dibiarkan hancur, kelemahan itu otomatis membuat produksi pertanian di dalam negeri tak sanggup memenuhi kebutuhan konsumsi. Padahal, sekali lagi, konsumsi terus meningkat seiring laju pertambahan penduduk.

Tata niaga produk pertanian yang tidak sehat kian menambah parah keadaan. Usaha pertanian tidak sanggup lagi memberikan kesejahteraan yang memadai bagi petani.

Karena itu, usaha pertanian cenderung ditinggalkan. Banyak petani beralih menjadi buruh, kuli, atau paling banter pedagang bakulan. Karena itu, dalam sepuluh tahun terakhir  rumah tangga usaha petani berkurang 5,07 juta unit.

Membalikkan keadaan sektor pertanian ini menjadi membaik dan sehat, jelas tidak mudah. Waktu untuk itu tak cukup 2-3 tahun sebagaimana target pemerintah mencapai swasembada pangan.

Selain kerja keras berbagai pihak, perbaikan kinerja sektor pertanian terutama menuntut keberpihakan pemerintah. Tanpa itu, usaha tani bakal makin tidak diminati bahkan oleh keluarga petani sendiri.

Lalu alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman atau kawasan industri juga akan terus berlangsung secara masif.  Di sisi lain, produktivitas lahan pertanian juga niscaya cuma begitu-begitu saja sehingga tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.

Last but not least, impor bahan pangan pun pasti makin tak terhindarkan kian hari kian menggunung. Artinya, negeri kita makin tidak layak disebut negara agraris. Predikat tersebut cuma tinggal ilusi.

Komitmen keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian ini bukan tak pernah ada. Cuma, sejauh ini, komitmen tersebut lebih banyak sekadar isapan jempol. ***

Jakarta, 10 Februari 2015