22 Februari 2015

Tak Perlu Galau Oleh Australia


Sikap Australia maupun Brasil terkait rencana pemerintah kita mengeksekusi mati warga kedua negara tersebut, yang menjadi terpidana kasus narkoba di negeri kita, jelas merupakan cerminan bahwa mereka  tidak menghargai posisi kita. Mereka melulu melihat persoalan berdasar perspektif mereka sendiri -- membela warga negara -- tanpa mau mengerti bahwa  warga yang mereka bela itu telah melakukan kejahatan  serius menyangkut peredaran narkoba di Indonesia.

Rencana eksekusi itu sendiri murni penegakan hukum dan sama sekali tidak sewenang-wenang -- karena sudah melalui serangkaian proses hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk permohonan pengampunan alias grasi kepada Presiden Jokowi. Hukuman mati ditetapkan karena kejahatan narkoba merupakan tindakan kriminal yang berbahaya serta mengancam masa depan bangsa. Hukuman mati juga tidak melanggar ketetapan internasional apa pun.

Bahwa permohonan para terpidana untuk memperoleh grasi ditolak, itu adalah yurisdiksi kita sebagai negara berdaulat. Ini seharusnya dipahami dan dihargai oleh pemerintah Australia maupun Brasil.

Tetapi kedua negara itu seolah lupa terhadap etika pergaulan antarbangsa berdaulat. Pemerintah Australia mengungkit-ungkit bantuan mereka untuk korban bencana tsunami di Aceh.
Bantuan itu seolah utang yang harus dibarter dengan pembatalan eksekusi mati terhadap dua warga Australia.

Di lain pihak, Presiden Brasil Dilma Rousseff Jumat pekan lalu secara mendadak menunda menerima penyerahan surat kepercayaan (credential) Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto. Padahal Dubes Toto diundang secara resmi untuk menyampaikan credential itu pada upacara di Istana Presiden Brasil.
Kita tidak boleh tunduk terhadap tekanan-tekanan seperti itu. Kita harus teguh dalam memerangi peredaran narkoba. Eksekusi para terpidana mati kasus narkoba tetap harus  dilaksanakan tanpa menghiraukan tekanan siapa pun.

Tentu kita berharap perselisihan kita dengan Australia dan Brasil ini dapat diselesaikan secara baik-baik, sehingga hubungan bilateral dengan kedua negara itu tidak lantas menjadi rusak. Tetapi bila komunikasi baik-baik tidak berhasil mencegah kerusakan hubungan bilateral, kita tidak layak kelewat menyesali ataupun risau seolah-olah kita akan kiamat.

Memang, rusaknya hubungan itu niscaya berdampak negatif secara bilateral. Tetapi, bagi kita, dampak itu tak terbilang serius. Brasil, misalnya, secara politik maupun ekonomi bukan mitra kita yang tergolong strategis. Hubungan dagang Indonesia-Brasil sejauh ini relatif kecil: tak sampai US$ 3 miliar per tahun. Angka itu di bawah 1 persen nilai perdagangan masing-masing negara.

Agak lain dengan Australia. Hubungan bilateral kita dengan Australia memang tidak tergolong biasa-biasa saja. Secara politik maupun ekonomi, kedua negara saling memandang sebagai mitra strategis.

Karena itu, rusaknya hubungan bilateral kita dengan Australia niscaya berdampak negatif bagi kedua belah pihak. Tetapi secara matematis, dampak negatif itu lebih merugikan Australia -- terutama secara ekonomi.

Neraca perdagangan kita dengan Australia selama ini menorehkan surplus bagi Australia. Menurut catatan Kementerian Perdagangan kita, tahun lalu --  hingga November -- surplus itu mencapai US$ 511,32 juta. Sementara tahun 2013 bernilai US$ 667,68 juta, dan tahun 2012 sekitar US$ 392,23 juta.

Jadi, Australia jelas sangat berkepentingan menjaga hubungannya dengan kita tetap baik. Itu pula yang membuat tindakan mereka menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, beberapa tahun lalu, tak berlangsung lama. Tanpa kita menghiba-hiba, akhirnya mereka sendiri yang mencabut kebijakan itu.

Jadi, sekali lagi, kita tak perlu galau apalagi takut oleh tekanan Australia. Tekanan itu tidak lebih merupakan cara mereka mengemis kepada kita.***

Jakarta, 22 Februari 2015