20 Februari 2015

Karut Marut Ketenegakerjaan

Realitas ketenagakerjaan kita, khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, adalah sebuah dunia karut-marut. Ibarat potret, realitas ketenagakerjaan kita bukan cuma buram dan kusam, melainkan juga menampilkan gambar yang mengiriskan. Realitas ketenagakerjaan kita adalah tragedi, derita, nestapa, dan kesia-siaan.

Sudah sejak lama, ketenagakerjaan kita menampilkan realitas yang tidak sedap dan tidak pula elok. Berderet-deret kisah pilu TKI sudah terkuak ke permukaan. Berderet-deret TKI menjadi korban penipuan, pelecehan, penyiksaan, bahkan hukum pancung di luar negeri. Bahkan entah berapa banyak TKI sekadar menjadi korban praktik perdagangan manusia (human trafficking).

Gambaran seperti itu merupakan cerminan bahwa peran pemerintah sebagai representasi negara sungguh minim. Dalam banyak kasus, pemerintah bukan cuma kedodoran, melainkan juga seperti tidak memberikan perlindungan memadai terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.

Pemerintah juga tidak sungguh-sungguh berperan dalam menyiapkan keterampilan TKI yang akan ditempatkan di mancanegara. Bahkan pemerintah selama ini terkesankan nyaman-nyaman saja terhadap realita bahwa TKI yang diberangkatkan ke luar negeri sekadar golongan jongos atau babu. Sedikit sekali TKI di negeri orang yang mampu merebut jenis pekerjaan lumayan bergengsi, seperti keperawatan atau kesekretarisan.

Sudah saatnya TKI yang ditempatkan ke luar negeri tidak sekadar golongan jongos. Jenis pekerjaan tersebut harus dihapus dari daftar penyiapan TKI. Ini bukan semata soal imbalan berupa fulus yang bisa lebih bernilai, melainkan juga demi menjaga harkat martabat bangsa di mata internasional.

Itu berarti, penyiapan tenaga TKI harus dilakukan sungguh-sungguh terprogram secara jelas dan fokus. Dengan demikian, TKI yang ditempatkan di mancanegara tidak lagi lebih banyak berbekal semangat dan gincu -- dan karena itu pula mereka menjadi sasaran empuk praktik human trafficking.

Tak bisa tidak, pemerintah  wajib memiliki komitmen besar melindungi TKI dari berbagai bentuk tindakan yang merugikan mereka. Perlindungan harus diberikan mulai tahap penyiapan hingga mereka kembali ke Tanah Air. TKI yang bekerja di luar negeri ini tidak boleh lagi seolah dibiarkan menjadi bulan-bulanan tindak pemerasan -- entah dalam pengurusan dokumen-dokumen kesehatan, keimigrasian, dan lain-lain. Pemerintah juga harus memastikan bahwa TKI tidak menjadi korban praktik human trafficking.

Untuk itu, pemerintah wajib mengubah sikap mental secara mendasar. Sikap-tindak selama ini yang cenderung tutup mata terhadap berbagai bentuk praktik tidak beres dalam dunia ketenagakerjaan ini harus dienyahkan jauh-jauh.

Kalau ditelaah, sikap pemerintah yang seperti pura-pura tidak tahu terhadap berbagai praktik tidak beres dan tidak sehat itu merupakan titik simpul yang membuat dunia ketenagakerjaan kita selama ini karut-marut alias amburadul. Sikap tutup mata membuat sektor ketenagakerjaan, khususnya dalam konteks penempatan TKI di mancanegara, selama ini menjadi biang rusaknya martabat bangsa di tengah pergaulan internasional. Seolah-oleh Indonesia hanya mampu menghasilkan sumber daya sekelas babu. Selebihnya, Indonesia juga seolah merestui praktik human trafficking.

Jadi, pemerintah jangan lagi pura-pura tidak tahu alias tutup mata terhadap realitas karut-marut dunia ketenagakerjaan kita ini.***

Jakarta, 20 Februari 2015