23 Januari 2015

Anomali Harga

Meski pemerintah sudah dua kali kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar pada awal dan pertengahan Januari ini, harga barang kebutuhan pokok dan jasa -- khususnya ongkos transportasi -- tetap saja tinggi. Seolah-olah harga BBM kini tidak lagi berpengaruh.

Itu jelas merupakan anomali. Harga kebutuhan pokok dan jasa yang tetap tinggi ini mengingkari logika ekonomi. Kalau kenaikan harga BBM berdampak menaikkan harga barang dan jasa -- termasuk kebutuhan pokok --, maka seharusnya ketika harga BBM turun pun harga kebutuhan pokok ikut turun pula.

Tetapi logika itu ternyata tidak berlaku. Dampak variabel BBM terhadap harga kebutuhan pokok hanya searah: melulu ketika harga BBM naik. Penurunan harga BBM -- apalagi sampai dua kali -- dipersepsi sebagai sentimen negatif.

Bagi pedagang, penurunan harga BBM jelas berdampak memangkas margin keuntungan. Karena itu pula, mereka bergeming dengan harga semula pascapenaikan harga BBM.

Kenyataan itu meneguhkan kesan bahwa pemerintah tak mampu menyentuh pasar barang kebutuhan pokok. Pemerintah seolah hilang kendali atau bahkan tak berdaya dalam berhadapan dengan dinamika pasar.

Kesan itu tertoreh, karena paling tidak selama ini gejolak harga bahan pokok masyarakat praktis selalu menjadi penyakit tahunan -- dan nyaris tak pernah bisa diobati. Pemicunya bisa momen hari besar nasional seperti Lebaran atau Natal dan Tahun Baru. Bisa juga imbas faktor kebijakan pemerintah yang menumbuhkan persepsi negatif kalangan pedagang.

Gejolak harga barang kebutuhan pokok yang bertahan tinggi sekarang ini sungguh merisaukan. Sebab akhir tahun lalu itu, inflasi tahunan (year on year) masih jauh di atas target yang dijanjikan di bawah 5 persen. Akhir tahun lalu, inflasi tahunan ini tercatat 8,36 persen.

Maka pemerintah sungguh-sungguh ditantang. Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk menekan inflasi. Artinya, pemerintah harus mampu mematahkan anomali pasar bahan kebutuhan pokok pascapenurunan harga BBM, belum lama ini.

Pasar bahan kebutuhan pokok di dalam negeri patut diakui tidak sehat. Rantai distribusi terlampau panjang. Itu menjadi ruang-ruang bagi tindakan spekulasi ataupun distorsi pasar sehingga gejolak harga-harga pun acap bias -- tak selalu bisa dijelaskan sesuai hukum permintaan dan penawaran.

Kenyataan itu pula, barangkali, yang membuat kendali pemerintah untuk meredam gejolak harga selama ini hampir selalu tidak efektif. Terlebih strategi pemerintah sendiri kaku dan konvensional, di samping skalanya juga relatif terbatas. Strategi operasi pasar sudah acap terbukti tidak ampuh alias mandul.

Rencana pemerintah menerapkan sistem registrasi pelaku usaha bahan kebutuhan pokok barangkali bisa diharapkan menjadi strategi alternatif yang berdampak memangkas mata rantai distribusi. Strategi tersebut layak diterapkan. Terlebih di tengah anomali pasar bahan kebutuhan pokok sekarang ini.

Bagi pemerintahan Presiden Jokowi sendiri, upaya mematahkan anomali pasar itu menjadi pertaruhan besar. Keberhasilan upaya tersebut bisa berdampak meyakinkan khalayak luas bahwa pemerintah memang memiliki kepekaan terhadap derita rakyat.***

Jakarta, 21 Januari 2015