14 Januari 2015

Bias Kepentingan KPK

Penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi menjadi bukti bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini telah menjelma menjadi institusi sangat berkuasa alias super body. Demikian berkuasa, sampai-sampai institusi kepresidenan pun tak segan mereka permalukan.

Budi Gunawan adalah calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Artinya, Budi Gunawan adalah selera Presiden. Budi benar-benar pilihan Presiden setelah melalui tahap-tahapan proses seleksi. 

Tetapi pilihan itu secara tidak langsung dinyatakan bermasalah oleh KPK. Budi Gunawan ditetapkan berstatus tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi kala dia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Sumber Daya Manusia, Mabes Polri.

Dengan tindakan itu, KPK sama saja dengan menyatakan bahwa pilihan Presiden Jokowi tentang calon Kapolri ini ngawur. Atau lebih lugas lagi: pilihan Presiden secara etis dan moral sama sekali tidak layak.

Begitu pula terhadap DPR. Dengan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi, KPK secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa DPR tidak patut melanjutkan proses uji kepantasan. Itu juga berarti, persetujuan atau restu DPR kepada Presiden untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai pimpinan puncak Polri menjadi konyol.

Di sisi lain, tindakan KPK terhadap Budi Gunawan juga membuat marwah institusi Polri merosot. Pamor dan martabat kelembagaan Polri bisa luruh manakala nanti resmi dipimpin Budi Gunawan karena dia menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi.

Bagi Budi Gunawan sendiri, tindakan KPK itu bermakna pembunuhan karakter. Pertama, karena dia belum pernah diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi dan gratifikasi yang dialamatkan kepadanya. Kedua, karena dia justru sedang menghadapi proses uji kepatutan di DPR sebagai calon Kapolri.

Soalnya menjadi lain sama sekali kalau saja KPK menetapkan status tersangka terhadap diri Budi Gunawan ini jauh-jauh hari. Bisa dipastikan Presiden Jokowi tak bakal sampai memilih dan mengajukan Budi sebagai calon Kapolri ke DPR.

Dengan itu pula, DPR pun tak harus dibuat terkesankan konyol memberi restu kepada figur bermasalah untuk menjadi orang nomor satu di institusi Polri. Sementara Budi Gunawan sendiri juga tak perlu sampai mengalami pembunuhan karakter.

Jadi, apa yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan ini luar biasa. Betapa tidak, karena KPK tidak lain sekadar lembaga ad hoc. Jajaran pimpinan KPK sendiri dipilih oleh rakyat melalui sebuah panitia bentukan Presiden dan disyaratkan mendapat restu DPR.

Namun, sekali lagi, KPK kini telah menjelma menjadi lembaga super body sehingga mereka sanggup memaksakan kehendak kepada institusi lain. Fungsi penegakan hukum yang mereka emban kini tidak lagi melulu demi penegakan hukum, melainkan sudah bias kepentingan beraroma politik.

Kecenderungan itu tentu tak boleh dibiarkan. Adalah berbahaya jika institusi penegak hukum seperti KPK larut masuk wilayah politik. Bukan cuma asas objektivitas dan fairness dalam penegakan hukum bisa terabaikan dan menjadi sekadar aksesoris. Lebih dari itu, bisa-bisa KPK lupa terhadap mandatnya sendiri.

Kalau saja itu sampai terjadi, keberadaan KPK pun kehilangan relevansi dan urgensi. Itu berarti, gerakan antikorupsi mengalami kemunduran.***

Jakarta, 14 Januari 2015