21 November 2014

Tercederainya Agenda Antikorupsi Jokowi


Memang janggal bahwa penunjukan HM Prasetyo sebagai jaksa agung tanpa pengecekan rekam jejaknya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Padahal, sebelum mengangkat menteri-menteri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus meminta kedua institusi tersebut  menelisik rekam jejak sejumlah nama calon.

Oleh sebab itu pula, sejumlah nama pun gagal diangkat menjadi anggota kabinet karena KPK -- setelah melakukan penelitian berdasarkan data di PPATK -- memberi catatan bahwa mereka bermasalah: terindikasi terlibat kasus korupsi. Walhasil, nama-nama yang kemudian diangkat menjadi anggota Kabinet Kerja pimpinan Jokowi pun relatif bersih alias tidak potensial menjadi pesakitan kasus korupsi.

Nah, status Prasetyo ini tidak jelas. Dia belum tentu bermasalah dalam perspektif pemberantasan korupsi. Tapi dikatakan bersih juga nanti dulu. Ya, karena memang tak ada stempel clean and clear yang diberikan institusi KPK sebagaimana tempo hari disandangkan terhadap calon-calon menteri. Sebelum diangkat menjadi jaksa agung, nama Prasetyo tidak lebih dulu "ditelanjangi" PPATK dan KPK.

Jokowi tampaknya tidak merasa perlu meminta PPATK dan KPK mengklarifikasi rekam jejak Prasetyo ini. Dengan kata lain, Prasetyo dikecualikan alias diistimewakan -- entah karena alasan apa. Seolah-olah rekam jejak Prasetyo sudah terjamin bersih dari hari biru rasuah.

Tak bisa tidak, itu membuat Jokowi terkesankan tidak konsisten dalam memastikan rekam jejak bersih jajaran pejabat tinggi pemerintahan dan negara. Padahal kepastian itu, seperti pernah dia ungkapkan sendiri,  sungguh fundamental guna menjamin pemerintahan yang dia pimpin berada di jalur yang benar dalam konteks pemberantasan korupsi.

Karena itu bisa dipahami kalangan penggiat gerakan masyarakat madani pun lantas mempertanyakan semangat antikorupsi Jokowi. Bagi mereka, kasus pengangkatan Prasetyo sebagai jaksa agung ini membuat komitmen Jokowi terhadap gerakan antikorupsi jadi terkesankan tidak sungguh-sungguh. 

Dalam penuturan lain, agenda antikorupsi Jokowi menjadi kabur. Agenda tersebut tampaknya tercederai oleh kepentingan politik Jokowi sendiri. Ini sungguh disayangkan, karena kepentingan politik bisa melumerkan segala hal -- tak terkecuali program antikorupsi.

Komitmen Prasetyo sendiri -- menggerakkan kejaksaan melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus  korupsi, bergandengan dengan KPK -- jadi seolah kurang bermakna. Kkomitmen tersebut normatif belaka -- karena agenda dan program antikorupsi Jokowi telanjur tercederai.

Skeptisisme tentang program antikorupsi Jokowi ini kian kental karena Prasetyo sendiri berasal dari parpol. Kenyataan tersebut membuat institusi kejaksaan diragukan kebal intervensi, khususnya dari parpol asal Prasetyo selama ini berkiprah sebagai politisi.

Memang, Prasetyo sudah melepas keanggotaan di parpol. Tetapi kepemimpinan Prasetyo di kejaksaan tetap saja dinilai rawan tersandera oleh kepentingan parpol yang selama ini menjadi naungannya dalam berpolitik. Padahal kejaksaan sendiri memiliki setumpuk PR alias pekerjaan rumah menyangkut perkara-perkara berbau politis atau terindikasi melibatkan politisi. Misalnya kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) ataupun kasus pembunuhan aktivis Munir yang belum sepenuhnya clear.

Cedera agenda antikorupsi ini sulit hilang sebatas lewat pernyataan apologistik. Cedera tersebut hanya bisa pupus lewat bukti-bukti konkret yang bersifat segera. Untuk itu, Jokowi harus memberikan target kerja jangka pendek kepada jaksa agung untuk menuntaskan sejumlah perkara, khususnya perkara berbau korupsi. Lalu, jika target ternyata gagal bisa dicapai, jaksa agung tak layak dipertahankan -- karena hanya membebani Jokowi secara politik.***

Jakarta, 21 November 2014