13 November 2014

Prioritas untuk Perbatasan

Kasus pindah kewarganegaraan 20 keluarga di perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Nunukan, Kaltim, harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Kasus tersebut tak boleh dipandang remeh: seolah-olah jumlah 20 keluarga itu sama sekali tak punya arti dibanding total populasi penduduk Indonesia.

Boleh jadi, kasus pindah kewarganegaraan ini ibarat gunung es. Warga Indonesia di perbatasan yang telah pindah menjadi warga Malaysia ini sebenarnya mungkin jauh lebih banyak daripada kasus yang terungkap ke permukaan. Bukankah selama ini ancaman ke arah itu sudah nyaring disuarakan masyarakat yang tinggal di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia -- entah di Kalbar, Kaltim, ataupun Kalut?

Ancaman itu sendiri merupakan ekspresi kekecewaan mendalam warga di wilayah perbatasan karena selama ini pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan mereka. Bahkan bukan lagi kurang perhatian, pemerintah justru cenderung abai terhadap aspirasi masyarakat di wilayah perbatasan ini menyangkut pembangunan ekonomi di daerah mereka. Suara-suara tentang itu selama ini cenderung dianggap sepi.  

Harapan atau bahkan tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi di daerah mereka sungguh tidak mengada-ada. Pertama, karena kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan selama ini memang sangat minim. Begitu minim, sampai-sampai infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah tersebut bisa dikatakan morat-marit. Itu kontras dengan kondisi infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah Malaysia yang terhampar di seberang perbatasan. 

Kedua, tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi ini juga sungguh berkepatutan. Sebab, kekayaan alam di bumi yang menjadi tempat mereka berpijak sudah begitu banyak dikeruk -- entah minyak bumi, batubara, juga hasil hutan. Sungguh ironis bahwa semua itu sedikit sekali meneteskan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah perbatasan.

Walhasil, dari perspektif itu, adalah wajar masyarakat di perbatasan -- khususnya di wilayah Kalbar, Kaltim, dan Kalut -- kecewa dan kemudian punya pikiran pindah menjadi warga Malaysia. Tapi bagi Indonesia sendiri, fenomena itu berbahaya. Bukan sekadar bermakna menelanjangi kekurangpedulian pemerintah selama ini terhadap wilayah perbatasan, fenomena itu juga bisa berkembang menjadi benih-benih yang menumbuhkan klaim wilayah oleh pihak Malaysia.

Potensi klaim itu tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ini karena masyarakat di perbatasan sangat erat terikat dengan nilai-nilai adat. Tiap individu secara adat tak bisa dipisahkan dari tanah yang menjadi tempat mereka berpijak. Justru itu, manakala berganti kewarganegaraan, mereka sangat mungkin mengklaim bumi tempat mereka berpijak secara adat ikut beralih pula. Kalau sudah begitu, mustahil Malaysia tidak tergerak melakukan tindakan-tindakan legitimasi.

Karena itu, sekali lagi, kasus 20 keluarga di Nunukan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia harus mendapat perhatian khusus. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak boleh mengulang kesalahan pemerintahan-pemerintahan terdahulu: cenderung mengabaikan wilayah perbatasan.

Kekecewaan masyarakat di wilayah itu harus segera diobati dengan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, terutama di titik titik perbatasan. Ini bukan cuma perlu diprioritaskan, melainkan juga patut diberi porsi istimewa.

Untuk itu, paradigma pembiayaan pembangunan -- khusus di wilayah perbatasan -- perlu diubah. Alokasi dana jangan lagi sesuai proporsi populasi penduduk, melainkan berbanding lurus dengan luas wilayah. Dengan demikian, tak beralasan lagi alokasi dana pembangunan bagi wilayah perbatasan ini cuma setetes-setetes seperti selama ini.

Tentu, sejalan dengan pembangunan ekonomi, penanaman nilai-nilai nasionalisme bagi masyarakat di perbatasan juga perlu digalakkan. Nasionalisme keindonesiaan tak boleh dibiarkan terkikis oleh kondisi apa pun.*** 

Jakarta, 13 November 2014