15 November 2014

Kenegarawanan Elite

Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB), kemarin, serta-merta membuka mata semua pihak: kedua tokoh sungguh memiliki jiwa kenegarawanan. Dengan itu, pupus sudah anggapan bahwa mereka berdua selama ini -- pascapemilu presiden -- saling bermusuhan dan hanya menomorsatukan kepentingan kubu masing-masing.

Bahwa Jokowi dan ARB masing-masing berdiri di kubu yang berbeda, itu benar. Jokowi berada di kubu Koalisi Indonesia Bangkit yang telah berjasa mengantarkannya sebagai pemenang Pilpres 2014. Sementara ARB sekarang ini dikenal sebagai salah satu motor Koalisi Merah Putih yang dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Tetapi kenyataan itu tak harus dimaknai bahwa kedua tokoh -- bersama kubu masing-masing -- bermusuhan dan saling meniadakan secara politik. Pemaknaan seperti itu bukan cuma keliru, tetapi juga sungguh tidak sehat: membuat kedua tokoh seolah berpikiran sempit, picik, dan sama sekali jauh dari sifat-sifat kenegarawanan.

Memang, posisi kedua kubu -- Koalisi Merah Putih di satu pihak dan Koalisi Indonesia hebat di sisi lain -- begitu diametral. Itu terutama karena pascapilpres, suhu persaingan politik kedua kubu tak lantas menurun. Terlebih setelah Koalisi Merah Putih memenangi pertarungan politik di parlemen secara beruntun.

Namun posisi diamitral kedua kubu itu bukan terutama tertoreh lantaran pertarungan-pertarungan politik. Bagaimanapun, pertarungan-pertarungan memperebutkan kepentingan itu dalam jagat politik soal biasa dan sah-sah saja. Pertarungan-pertarungan itu lebih merupakan ajang uji kesolidan dan kepiawaian masing-masing kubu dalam bernegosiasi.

Karena itu, pihak yang keluar sebagai pemenang tak lantas harus dicap sebagai tiran, dan di sisi lain pihak yang kalah merupakan sang tertindas. Vonis seperti itu bukan saja tidak fair, melainkan juga menyesatkan.

Suhu persaingan politik kedua kubu terkesankan panas dan keras, sehingga seolah-olah melahirkan perang barata yudha, lebih karena faktor komunikasi tersumbat. Kedua kubu, terutama pascapilpres, seperti sengaja saling menjaga jarak dan enggan membuka komunikasi.

Situasi seperti itu sulit bisa cair, kecuali di kedua kubu terdapat figur yang memiliki jiwa kenegarawanan. Itu pula yang kemarin dijawab dan ditunjukkan oleh Jokowi dan ARB. Seolah ingin menepis berbagai anggapan miring selama ini, mereka berdua melakukan pertemuan khusus.

Pertemuan itu bukan hanya mencairkan kebekuan kedua kubu, tetapi juga memastikan bahwa Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih adalah mitra yang saling bersaing -- bukan dua musuh yang saling meniadakan. Bahwa selama ini kedua kubu terkesankan terlibat perang barata yudha, agaknya itu lebih karena media massa keliru atau kebablasan memaknai persaingan sebagai pemusuhan sengit.

Jadi, pertemuan Jokowi dan ARB kemarin sungguh melegakan. Bagaimanapun, banyak masalah bangsa yang harus dikomunikasikan oleh berbagai elemen bangsa -- terutama jajaran elite politik. Tanpa komunikasi yang dilandasi jiwa kenegarawanan, masalah-masalah itu sungguh musykil bisa dipecahkan secara konstruktif.

Mudah-mudahan, jiwa kenegarawanan ini juga ditunjukkan oleh elite-elite politik lain. Dengan demikian, rakyat boleh merasa yakin bahwa geliat politik ke depan ini tidak berdampak merontokkan stabilitas nasional sebagaimana sempat dikhawatirkan banyak pihak.***

Jakarta, 15 November 2014