19 November 2014

Bentrok TNI-Polri

Bentrokan fisik antara TNI dan Polri -- seperti terjadi di Batam, Kepulauan Riau, kemarin -- sungguh memrihatinkan sekaligus memalukan. Pertama, karena bentrokan antara kedua institusi negara ini sungguh tak patut terjadi. Alasan apa pun tak bisa dijadikan pijakan untuk memaklumi bentrokan-bentrokan di antara mereka.

TNI maupun Polri seharusnya melulu fokus melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai aturan perundangan. Bentrok fisik hanya memberi kesan negatif di mata khalayak luas: bahwa kedua institusi tidak siap hidup berdampingan secara damai. Bahwa TNI seperti tidak ikhlas melepas Polri menjadi institusi tersendiri. Bahwa Polri, setelah tidak lagi menjadi organ di bawah TNI/ABRI, seperti menjadi "belagu" dalam berhubungan dengan TNI. 

Kedua, bentrok fisik TNI dan Polri ini juga memrihatinkan karena insiden tersebut terus berulang. Terlebih kadang bentrokan yang terjadi menekan korban jiwa maupun luka-luka, di samping merusak fasilitas kedua institusi maupun fasilitas publik. Insiden-insiden yang pernah terjadi seolah tidak pernah memberi pelajaran bagi kedua pihak untuk saling memahami. Kedua pihak seolah-olah saling menyimpan "dendam".

Sejak era reformasi, entah sudah berapa kali TNI dan Polri ini terlibat bentrok fisik. Meski cuma melibatkan oknum-oknum anggota di masing-masing institusi, bentrokan TNI-Polri terkesankan begitu mudah meletup. Tak jarang pula bentrokan berlangsung dalam skala lumayan: melibatkan banyak oknum personel, serta diwarnai penggunaan senjata api.

Ironinya, pihak TNI maupun Polri seperti memandang remeh setiap insiden bentrok antara kedua institusi itu. Acap terdengar mereka melukiskan insiden bentrokan antara kedua alat negara ini sekadar bentuk "kenakalan anak-anak" yang tidak perlu dicemaskan. Jadi, publik seperti diminta memaklumi bahwa insiden bentrokan yang terjadi bukan soal serius.

Biasanya, insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini juga diselesaikan di tingkat lokal atau pimpinan yang lebih tinggi. Lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, masalah lantas selesai begitu saja. Insiden bentrokan hampir tak pernah ditindaklanjuti oleh proses penegakan hukum.

Walhasil, publik hampir tak pernah memperoleh penjelasan resmi mengenai insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Apa yang menjadi pemicu, siapa saja yang terlibat, juga sanksi apa yang dijatuhkan -- itu semua seolah melulu untuk diketahui internal kedua institusi. Publik seolah tak berhak tahu.

Akibatnya, itu tadi: berbagai insiden bentrok fisik yang pernah terjadi tidak menjadi pelajaran berharga bagi TNI maupun Polri untuk tidak mengulang insiden serupa -- entah di mana pun. Masing-masing pihak terkesankan tak pernah jera ataupun malu untuk terlibat bentrokan lagi.

Selama model penanganan insiden bentrokan fisik antara TNI dan Polri ini tetap seperti selama ini -- selesai begitu saja lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, tanpa penegakan hukum, dan tertutup bagi publik --, sulit diharapkan TNI dan Polri bisa berdampingan secara damai dan harmonis. Insiden-insiden bentrok fisik bakal senantiasa terjadi -- entar sekadar bersifat perorangan ataupun kelompok.

Seharusnya DPR tampil berperan mengakhiri fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Bahkan, memang, DPR berkewajiban mengontrol TNI dan Polri agar konsekuen serta konsisten melakukan reformasi di internal masing-masing. Sebab, bagaimanapun fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini lebih merupakan wujud ketersendatan keduanya dalam melakukan reformasi internal. Karena itu, sejauh ini mereka tak sepenuhnya tunduk terhadap politik sipil yang antara lain mengagungkan proses hukum.

Tetapi, sayangnya, wakil-wakil rakyat di parlemen sendiri cenderung larut dalam kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.***

Jakarta, 19 November 2014