03 November 2014

Gamang Menaikkan Harga BBM?

Pemerintah boleh jadi gamang untuk memutuskan penaikan harga bahan minyak (BBM) subsidi. Kesan tersebut tertoreh karena pemerintah tidak satu kata mengenai kepastian penaikan harga BBM subsidi ini. Bahkan tak kurang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla sendiri tidak kompak ketika berbicara tentang isu tersebut.

Hingga Senin kemarin, Jokowi masih menyatakan bahwa soal penaikan harga BBM subsidi belum juga diputuskan. Bahkan berancar-ancar saja Jokowi terkesankan enggan.

Di lain pihak, Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa soal penaikan harga BBM subsidi tinggal menghitung hari. Dia menyebutkan, keputusan tentang itu dilakukan November ini juga.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan bahwa penaikan harga BBM subsidi dilakukan sebelum pergantian tahun. Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa pemerintah masih harus melihat perkembangan sebelum memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan. Ini, antara lain, karena harga minyak di pasar internasional kini menyentuh level 80 dolar AS per barel alias turun jauh ke level di bawah patokan APBNP 2014.

Boleh jadi, penaikan harga BBM subsidi ini sungguh pelik. Pelik, karena keputusan tentang itu amat menuntut kesiapan dan persiapan pemerintah menyangkut penanganan ekses sosial-ekonomi yang kelak muncul. Ini memang tidak mudah. Terlebih pemerintah sendiri tidak menginginkan penaikan harga BBM subsidi berdampak menyengsarakan rakyat kebanyakan, sekaligus harus terjamin menyehatkan ekonomi nasional.

Tuntutan itu mungkin menimbulkan tarik-menarik begitu alot di tubuh pemerintahan. Sebagian, seperti terkesankan oleh sikap Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil, menilai pemerintah sudah siap menaikkan harga BBM subsidi. Tapi sebagian lagi, termasuk Jokowi sendiri, tampaknya tak ingin grasa-grusu: penaikan harga BBM subsidi tak boleh dilakukan sebelum kesiapan dan persiapan pemerintah sudah benar-benar mantap.

Bagi Jokowi, penaikan harga BBM subsidi ini jauh lebih pelik karena punya muatan politis terhadap dirinya sendiri maupun terhadap PDIP sebagai pengusung utamanya. Nah, Jokowi tentu tak menghendaki muatan tersebut kelewat dalam berdampak menurunkan dukungan rakyat.

Tarik-menarik itu pula yang membuat pemerintah terkesan gamang untuk memutuskan penaikan harga BBM subsidi ini. Kegamangan tersebut membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian. Rakyat jadi tak memiliki pegangan kapan dilakukan dan bagaimana skema penaikan harga BBM subsidi ini? Padahal sejak jauh-jauh hari, sebelum dilantik sebagai pasangan presiden-wapres, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah gembar-gembor bahwa BBM subsidi bakal dinaikkan demi menyehatkan keuangan negara.

Kebingungan di tengah masyarakat itu harus dihindarkan karena sungguh tidak sehat atau bahkan berbahaya: bisa berdampak mengikis kepercayaan terhadap ekonomi nasional. Berbagai kajian selama ini menyimpulkan bahwa beban subsidi BBM sangat membebani keuangan negara. Sekian banyak anggaran habis percuma begitu saja, sehingga APBN pun didera defisit serius.

Jika kini rencana penaikan harga BBM subsidi terkesankan tidak berkepastian akibat pemerintah gamang untuk mengambil keputusan, publik pun -- khususnya pelaku pasar finansial maupun pelaku sektor riil -- bisa serta-merta mempersepsi anggaran negara makin babak-belur alias kian tidak sehat. Ini yang pada gilirannya bisa berimbas menyurutkan kepercayaan publik, sehingga ekonomi nasional kian tertekan.

Karena itu, pemerintah harus membuang jauh-jauh sikap gamang. Penaikan harga BBM subsidi harus segera diputuskan, sehingga khalayak luas beroleh pegangan -- dan ketidakpastian pun tentu hilang sirna. Dengan demikian, ekonomi nasional bukan hanya terbebas dari krisis kepercayaan. Lebih dari itu juga bisa berubah menjadi sehat, efisien, dan produktif.***

Jakarta, 3 November 2014