06 November 2014

Menteri Enggan Buka-bukaan?

Para penyelenggara negara, khususnya anggota kabinet, seharusnya memiliki kesadaran tinggi mengenai kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka tentu tahu sejak awal bahwa menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK adalah konsekuensi yang harus siap ditanggung setiap orang yang dipercaya menjadi penyelenggara negara.

Konsekuensi itu tak terhindarkan karena pemerintah -- sesuai tuntutan undang-undang -- berkewajiban menunjukkan komitmen dan tindakan-tindakan konkret terhadap gerakan antikorupsi. Jadi, setuju ataupun tidak, penyelenggara negara harus ambil bagian dalam gerakan tersebut -- antara lain dengan menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK.

Itu berarti, setiap penyelenggara negara harus rela buka-bukaan soal harta kekayaan ini. Begitu resmi dilantik menjadi penyelenggara negara, mereka tak bisa lagi menganggap data harta kekayaan sebagai soal privasi. Status data itu, melalui mekanisme transparansi yang diatur KPK, berubah menjadi persoalan publik. Artinya, data itu harus direlakan bisa dipelototi khalayak luas.

Karena itu, sungguh mengherankan bahwa kalangan anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti menganggap remeh kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini. Hingga Rabu lalu (5/11) -- sekitar dua pekan sejak pelantikan kabinet -- praktis baru beberapa menteri saja yang sudah menyerahkan laporan itu.

Selebihnya, sebagian besar menteri masih tenang-tenang saja. Mereka terkesankan menganggap tidak penting dan tidak urgen untuk melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK. Sampai-sampai Jokowi sendiri lantas merasa perlu mengeluarkan instruksi kepada mereka bahwa laporan itu paling lambat harus sudah diterima KPK pekan depan. 

Menyusun laporan harta kekayaan itu sebenarnya bukan pekerjaan rumit. Toh laporan tersebut tidak njelimet laiknya neraca keuangan perusahaan. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang harus disampaikan kepada KPK lebih bersifat gradual. Laporan itu sekadar memuat daftar harta yang dimiliki dengan perkiraan nilai atau harga masing-masing, plus keterangan singkat mengenai status ataupun asal-usul setiap jenis atau bentuk harta.  

Jadi, kelambanan banyak anggota Kabinet Kerja menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini bukan karena soal teknis, melainkan lebih merupakan sikap moral. Mereka abai atau bahkan mungkin enggan buka-bukaan soal harta kekayaan.

Mudah dipahami, karena itu, syak wasangka pun serta-merta tumbuh di tengah khalayak luas. Paling tidak, publik jadi mempertanyakan komitmen para menteri terhadap gerakan antikorupsi. Jangan-jangan mereka tidak punya political will untuk menjadi bagian gerakan pemberantasan korupsi yang telanjur menjadi penyakit kronis di Indonesia.

Oleh sebab itu pula, sudah selayaknya Jokowi tidak sekadar menginstruksikan mereka agar segera menyampaikan laporan harta kekayaan kepada KPK. Lebih dari itu, Jokowi juga patut menegur mereka secara khusus. Tiap meteri -- juga para pejabat tinggi lain dalam barisan penyelenggara negara -- yang nyata-nyata lelet atau menunda-nunda melaksanakan kewajiban itu pantas diberi catatan merah.

Sanksi tersebut amat beralasan, karena sikap abai terhadap keharusan melaporkan harta kekayaan kepada KPK berdampak menodai komitmen pemerintahan Presiden Jokowi secara keseluruhan. Seolah-olah pemerintahan Jokowi setengah hati dalam melaksanakan program antikorupsi. Padahal program itu jelas merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan pemerintahan dalam menyejahterakan rakyat.***

Jakarta, 6 November 2014