02 November 2014

Ancaman Ebola di Indonesia

Ancaman virus ebola di negeri kita sudah di depan mata. Ini tidak mengada-ada. Bukan menakut-nakuti. Juga bukan pula pertanda paranoid.

Ancaman virus ebola di Indonesia sungguh sudah mulai mengintai. Dua warga Jatim diduga terpapar virus tersebut. Mereka berdua kini dirawat di ruang isolasi di RSUD Dr Soedono di Kota Madiun dan di RSUD Pare, Kabupaten Kediri.

Dugaan bahwa kedua orang itu terpapar virus ebola bukan tanpa alasan. Sebab keduanya baru kembali dari Liberia -- negara dengan endemi virus ebola -- sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Untuk sementara, dokter memastikan bahwa kedua orang itu positif terserang malaria. Namun karena baru datang dari negara endemi ebola, dokter lantas menetapkan kedua orang itu berstatus suspect alias terduga terpapar virus ebola.

Untuk memastikan kedua orang itu terpapar ebola, dokter masih harus menunggu perkembangan hingga sepekan lagi. Ini karena masa inbukasi penyakit ebola adalah 21 hari sejak mereka diduga mulai terpapar. Karena itu, dokter mengawasi ketat perkembangan kondisi kedua orang itu.

Selain kedua orang yang berstatus terduga itu, sejumlah orang Indonesia lain juga dalam pantauan petugas kesehatan. Ini karena mereka dalam penerbangan ke Indonesia satu pesawat dengan kedua orang itu.

Sikap waspada seperti itu sungguh patut diapresiasi. Sebab bahaya penyakit ebola sungguh tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Penyakit tersebut sangat mematikan. Sejauh ini, sudah sekitar 5.000 orang di sejumlah negara meninggal dunia akibat penyakit ebola ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 13.703 orang kini positif terinfeksi virus ebola. Mereka terbanyak ditemukan di  tiga negara Afrika Barat yang memang dilanda wabah ebola, yaitu Liberia, Guinea, dan Sierra Leone. Di luar itu, penderita ebola juga ditemukan di Spanyol dan Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, ebola bisa dikatakan merupakan momok. Bukan karena dua orang sudah dinyatakan berstatus terduga terserang ebola, melainkan terutama karena risiko banyak orang terpapar virus tersebut relatif tinggi. Ini karena kita banyak mengirim TKI ke mancanegara, termasuk ke kawasan yang sudah positif dilanda wabah ebola.

Kontak fisik dalam kerumunan banyak orang dari berbagai penjuru dunia, seperti dalam prosesi ibadah haji ataupun umrah, juga bisa berisiko terpapar ebola. Meski pemerintah Arab Saudi melakukan upaya-upaya preventif atau penangkalan terhadap penyebaran virus ebola di kalangan jemaah haji dan umrah, risiko itu tetap tak bisa dinafikan begitu saja. Itu tadi: karena masa inkubasi ebola relatif lama, sementara gejala-gejala awal terpapar virus tersebut mirip demam biasa sehingga bisa menyesatkan.

Karena itu, tak bisa lain kecuali pemerintah harus benar-benar serius melakukan program pencegahan dan penangkalan ebola. Sikap awas, antisipatif, dan tanpa kompromi mutlak harus menjadi pegangan berbagai pihak terkait, terutama aparat yang diterjunkan bertugas di lapangan, seperti di terminal kedatangan di berbagai bandara internasional, di karantina, di rumah sakit, dan lain-lain.

Kampanye sadar risiko ebola juga perlu dilakukan. Khalayak luas jangan sampai punya anggapan bahwa risiko terinfeksi ebola hanya mungkin dialami di mancanegara, khususnya di negara-negara yang positif dilanda wabah ebola.

Di samping itu, mungkin perlu pula dikaji kemungkinan melakukan moratorium pengiriman TKI ke wilayah atau negara yang sudah teridentifikasi merupakan "sarang" ebola. Bbagaimanapun, tindakan tersebut bisa signifikan menurunkan ancaman ebola masuk ke Indonesia.***

Jakarta, 2 November 2014