19 November 2014

Berani tidak Populer

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi serta-merta menurunkan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khalayak luas, seperti tecermin dalam ungkapan-ungkapan di media sosial, mencerca keputusan tentang itu. Tak lama setelah penaikan harga BBM subsidi diumumkan, Senin malam lalu, tagar #ShameonYouJokowi dan #SalamGigitJari muncul di twitter dan segera menjadi trending topic alias fokus pembicaraan paling top.

Sementara itu, kalangan mahasiswa bahkan sejak jauh hari tegas-tegas menolak penaikan harga BBM subsidi ini. Sikap tersebut mereka tunjukkan dengan menggelar aksi unjuk rasa. Kemarin, setelah harga BBM subsidi resmi naik, aksi unjuk rasa mahasiswa ini pun lebih  marak dan merebak hingga ke berbagai daerah.

Di lain pihak, bagi kalangan politisi, penaikan harga BBM adalah amunisi untuk menyerang pemerintah. Senada dengan mahasiswa, mereka menilai penaikan harga BBM berdampak menyengsarakan rakyat. Maka di DPR pun kini mulai bergulir wacana untuk melakukan langkah politik terhadap Jokowi.

Jokowi sendiri sejak awal jelas bukan tidak menyadari risiko seperti itu. Dia sadar bahwa penaikan harga BBM subsidi bisa menjadi titik balik popularitasnya di mata publik. Dia tahu persis, rakyat banyak -- termasuk kalangan terpelajar yang melek persoalan sekalipun -- kecewa oleh penaikan harga BBM subsidi ini. Jokowi mafhum: penaikan harga BBM subsidi memang berekses menyusahkan rakyat. Langkah tersebut menurunkan daya beli masyarakat.

Tetapi sebagai pemimpin, Jokowi harus mengambil keputusan -- betapa pun keputusan itu tidak populer. Dia berkeyakinan bahwa penaikan harga BBM subsidi dalam jangka panjang sungguh bermanfaat: memperbaiki ekonomi nasional secara keseluruhan. Ibarat obat, penaikan harga BBM adalah pil pahit yang harus ditelan demi kehidupan ekonomi yang lebih baik dan sehat.

Meski begitu, keberanian tidak populer saja tidak cukup. Setelah harga BBM subsidi resmi dinaikkan, kini menjadi kewajiban Jokowi untuk mengamankan pasar agar harga aneka barang dan jasa tidak kelewat bergejolak. Kenaikan harga barang dan jasa sebagai ekses penaikan harga BBM harus bisa dikendalikan sehingga tidak sampai melampaui batas kewajaran.

Dengan demikian, kekecewaan rakyat atas penaikan harga BBM tidak lantas berkembang menjadi kemarahan. Kemarahan rakyat tidak boleh terjadi karena berbahaya: secara politik bisa menggoyahkan posisi Jokowi sebagai pemimpin nasional. Walhasil, kemarahan rakyat harus bisa diredam -- terutama lewat pengendalian harga aneka barang dan jasa.

Untuk itu pula, kompensasi penaikan harga BBM bagi kelompok masyarakat miskin harus benar-benar terlaksana dengan baik. Berbagai celah penyimpangan di lapangan harus dikenali dan diatasi sejak dini. Dengan demikian, rakyat miskin dibuat tahu bahwa mereka tidak dibiarkan menjadi korban sia-sia kebijakan penaikan harga BBM.

Selain mengendalikan harga aneka barang dan jasa, pascapenaikan harga BBM ini Jokowi juga harus bisa membuktikan bahwa ekonomi nasional berkembang menjadi lebih sehat. Dalam konteks ini, rakyat secara keseluruhan harus segera bisa menikmati kehidupan yang relatif lebih sejahtera. Jika tidak, kekecewaan rakyat terhadap Jokowi terkait penaikan harga BBM niscaya terus menggumpal. Risikonya, dukungan rakyat terhadap Jokowi semakin tergerus.

Tak bisa tidak, karena itu, Jokowi harus menggerakkan segenap kementerian -- terutama tim ekonomi -- agar menggelar program-program yang berdampak nyata menyejahterakan kehidupan rakyat. Ini sungguh menjadi pertaruhan bagi Jokowi dalam merebut kembali simpati dan dukungan rakyat setelah dikecewakan oleh penaikan harga BBM.

Simpati dan dukungan rakyat harus bisa direbut kembali. Dukungan rakyat adalah pilar utama bagi Jokowi untuk menahan gempuran politik -- terutama dari parlemen yang memang tidak dalam genggamannya.***

Jakarta, 19 November 2014