31 Mei 2013

Rupiah Kian Merisaukan


Pergerakan nilai tukar rupiah terasa makin merisaukan. Merisaukan, karena kurs rupiah dibanding dolar AS dewasa ini cenderung terus tertekan. Merisaukan, karena kondisi tersebut merupakan pertanda bahwa pamor rupiah meluntur.

Juga merisaukan, karena kondisi tersebut memiliki implikasi serius terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Beban utang luar negeri, misalnya, otomatis menjadi lebih membengkak.

Lebih merisaukan lagi, kecenderungan kurs rupiah yang terus melunglai terhadap dolar AS ini sudah menggejala sejak awal tahun lalu. Hasil kajian Invesment Research USB -- sebuah bank besar yang berkedudukan di Swis -- bahkan mengungkapkan bahwa rupiah merupakan satu-satunya mata uang di lingkungan ASEAN yang konstan mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS selama rentang Januari 2012 hingga medio Mei 2013 ini.

Berbeda dengan rupiah, selama periode Januari 2012 hingga medio Mei 2013, mata uang seperti peso Filipina, dolar Singapura/Brunei Darussalam, ringgit Malaysia, dan baht Thailand praktis menunjukkan tren menguat. Jadi, kurs rupiah melenggang sendirian di jalur berbeda dengan mata-mata uang lain di ASEAN. Padahal selama tahun 2011, pergerakan kurs rupiah dibanding dolar AS ini tak terkecuali memperlihatkan grafik menguat seperti mata-mata uang lain di ASEAN.

Menurut data di Bank Indonesia, nilai tukar rupiah selama tahun 2011 stabil di level 8.391 hingga 8.900 per dolar AS. Namun mulai Januari 2012, kurs rupiah terus melemah dari posisi 9.079 menjadi 9.714 per dolar AS pada 17 Mei 2013.
Di pasar uang, Jumat kemarin posisi rupiah memang menguat 9 poin dibanding Kamis lalu di level 9.811 per dolar. Namun secara keseluruhan, penguatan itu tidak serta-merta melegakan. Mungkin itu cuma gejala sesaat, sehingga belum bisa menjadi indikasi bahwa pergerakan rupiah mulai kembali ke jalur yang benar.

Boleh jadi, seperti analisis Bank Indonesia, kurs rupiah cenderung terus tertekan karena neraca transaksi berjalan belakangan ini rapuh. Hingga kuartal I/2013, neraca transaksi berjalan ini defisit 6,6 miliar dolar AS. Sementara neraca transaksi berjalan negara-negara lain di ASEAN pada saat bersamaan mencatatkan surplus.

Namun boleh diyakini, neraca transaksi berjalan yang rapuh bukan satu-satunya faktor. Rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang terus menggantung dalam keraguan dan ketidakyakinan pemerintah juga turut memberi kontribusi terhadap tren depresiasi rupiah ini. Dalam konteks itu, dunia bisnis -- termasuk pelaku pasar uang -- kehilangan pegangan, dan karena itu terdorong melakukan ekspektasi-ekspektasi yang membuat kurs rupiah makin tertekan.

Tren pelemahan nilai tukar rupiah ini jelas harus bisa segera diakhiri. Bagaimanapun, tren itu secara psikologis sudah menjadi kanker yang berbahaya. Dengan kurs yang sekarang ini sudah terdepresiasi relatif dalam dibanding posisi akhir tahun 2011, pelaku pasar uang makin tidak nyaman dan tidak percaya diri menggenggam rupiah. Artinya, sepanjang sinyal-sinyal positif dan meyakinkan tidak diperlihatkan pemerintah maupun Bank Indonesia, kurs rupiah sangat potensial terus tertekan.

Upaya mengakhiri tren pelemahan kurs rupiah ini tak cukup ditempuh lewat intervensi ke pasar uang. Bahkan bisa-bisa langkah tersebut justru makin mengikis kepercayaan pelaku pasar uang terhadap rupiah -- karena cadangan devisa berisiko terkuras.

Membalikkan arah pergerakan kurs rupiah ke jalur yang konstan menguat -- atau ke titik keseimbangan baru -- bagaimanapun menuntut langkah taktis di pihak Bank Indonesia maupun pemerintah. Langkah tersebut, tak bisa tidak, harus berangkat dari akar masalah yang selama ini membuat kurs rupiah tertekan. Justru itu, akar masalah  tersebut harus mampu diidentifikasi.***

Jakarta, 31 Mei 2013