09 Mei 2013

Pemidanaan Koruptor


Pantas saja korupsi di Indonesia tetap saja merajalela. Meski pemberantasan korupsi kian gencar dilakukan aparat penegak hukum, orang tidak takut sekaligus tidak malu menjadi terpidana korupsi. Rupanya kini orang tidak miris ataupun kapok melakukan korupsi.

Itu bukan sekadar lantaran sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan secara umum relatif ringan, melainkan juga karena proses pemidanaan tidak menghadirkan "derita". Terpidana kasus korupsi nyaris tidak merasakan proses pemidanaan sebagai sesuatu yang "menyiksa".

Seperti kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, sanksi pidana terhadap pelaku kasus korupsi ini sudah tidak efektif menimbulkan efek jera. Bagi terpidana kasus korupsi, penerapan sanksi pidana sama sekali sudah tidak menimbulkan kondisi-konsisi yang bersifat "menyiksa".

Itu bisa terjadi karena mental aparat juga bobrok sehingga gampang disogok. Jadi, dengan uang di tangan, terpidana kasus korupsi bisa leluasa menyulap proses pidana menjadi sekadar "permainan petak umpet". Meski dijebloskan ke penjara, mereka bisa tetap menikmati kebebasan. Mereka bisa keluar-masuk lembaga pemasyarakatan (lapas) kapan saja mereka mau -- dengan prosedur resmi ataupun sekadar memberi salam tempel; dengan pengawalan petugas lapas ataupun tidak.

Bahkan, menurut Samad, tak sulit ditemukan terpidana kasus korupsi yang praktis tidak pernah bermalam di lapas. Mereka setiap hari bermalam di rumah masing-masing -- atau mungkin di tempat lain. Mereka keluar sore hari, dan baru muncul lagi di lapas esok pagi.

Di dalam lapas sendiri, sebagaimana sudah terungkap dalam sejumlah kasus -- antara lain kasus Artalyta Suryani, eks narapidana kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan -- terpidana berkantung tebal macam koruptor tetap bisa menikmati kenyamanan luks kelas eksekutif. Mereka sama sekali tak merasakan sel tahanan sebagai "neraka": pengap dan berdesakan. Dengan menyuap aparat, mereka bisa menyulap sel tahanan menjadi laiknya hotel berbintang.

Karena itu, bagi terpidana kasus korupsi, lapas cuma tempat persinggahan. Sekadar tempat melepas lelah setelah menjalani aktivitas entah apa di luar tembok penjara. Atau, paling tidak, lapas sekadar menjadi tempat menikmati -- dan sedikit berbagi -- hasil korupsi.

Atas dasar itu, amat beralasan Samad sampai secara terbuka berkeluh-kesah soal efektivitas proses pemidanaan pelaku kasus korupsi ini. Tapi jangankan Samad, bahkan rakyat jelata pun pasti risau -- karena proses penindakan hukum nyaris menjadi sia-sia. Juga karena praktik korupsi niscaya jadi sulit diharapkan bisa mereda alias tetap merajalela.

Karena itu, Kemhumham wajib membenahi berbagai institusi penahanan, termasuk lapas. Inspeksi mendadak saja tidak cukup. Pembenahan harus dilakukan secara mendasar sehingga berbagai kelemahan yang memungkinkan oknum petugas memperjualbelikan "kebebasan" tahanan bisa diatasi. Pengawasan dan sanksi tegas dan lugas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran mutlak harus diterapkan. Bahkan, jika memungkinkan, seluruh petugas lapangan diganti dengan orang-orang yang belum "terkontaminasi" virus mental bobrok.

Di sisi lain, sanksi hukum bagi pelaku kasus korupsi juga harus lebih optimal. Tak cukup sekadar pidana kurungan badan, sanksi denda dan pengembalian hasil korupsi juga harus sangat maksimal. Intinya, mereka yang menjadi terpidana kasus korupsi harus benar-benar dibuat miskin.

Tanpa kelugasan hukum seperti itu, praktik korupsi niscaya tak akan pernah reda alias kian merajalela. Orang makin tak takut melakukan korupsi -- karena korupsi dipandang sekadar soal kesempatan dan nasib baik.***

Jakarta, 9 Mei 2013