Data
presensi anggota parlemen sepanjang tahun 2012, yang akhir pekan lalu dirilis
Badan Kehormatan DPR, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa banyak wakil rakyat
tidak amanah. Dengan tingkat kehadiran di bawah 50 persen -- bahkan beberapa
orang praktis nol persen alias membolos melulu selama satu masa persidangan --
bagaimana mungkin bisa mengatakan bahwa mereka serius mengemban peran dan
fungsi mereka sebagai wakil rakyat.
Bahwa
mereka masing-masing punya alasan atau pembenaran soal rendahnya tingkat
presensi itu, tetap saja sulit diingkari bahwa pada dasarnya mereka tidak
amanah. Mereka lebih memprioritaskan kegiatan di luar peran dan fungsi utama
mereka di parlemen: mengikuti persidangan. Mereka tidak serius, ogah-ogahan,
atau malas menjalani kewajiban sebagai legislator. Komitmen mereka sebagai
wakil rakyat, karena itu, lebih banyak merupakan omong kosong.
Jadi,
presensi buruk anggota parlemen dalam mengikuti persidangan ini sungguh
merupakan buku rapor yang tidak elok. Mereka yang punya presensi buruk tak
layak membanggakan diri sebagai wakil rakyat. Bahkan, secara etis dan moral,
mestinya mereka meminta maaf kepada rakyat. Meminta maaf atas sikap tidak
amanah mereka sebagai wakil rakyat. Tindakan tersebut sungguh patut karena
bagaimanapun abai terhadap amanah yang dipercayakan rakyat adalah khianat.
Tetapi,
kesadaran etis dan moral macam itu tampaknya tak dimiliki wakil-wakil rakyat
yang banyak membolos itu. Bahkan, menghadapi Pemilu 2014, banyak anggota
parlemen yang tergolong pemalas ini maju lagi menjadi calon legislator. Seolah
tanpa beban sama sekali, mereka begitu percaya diri melangkah untuk meminta
restu rakyat guna bisa duduk kembali di parlemen.
Itu
sungguh menyedihkan. Dengan sikap mental yang sungguh tidak mengesankan, mereka
masih saja tergerak maju kembali sebagai calon anggota parlemen. Mereka
menganggap rakyat seolah buta-tuli atas mental malas mereka selama ini duduk di
lembaga legislatif. Mereka sepertinya begitu yakin bahwa rakyat bisa gampang
dibuai oleh gincu-gincu yang sengaja mereka buat dalam menghadapi perhelatan
pemilu nanti.
Atau,
boleh jadi, mereka bukan tidak menyadari bahwa rakyat juga melek atas sikap
mental mereka yang cenderung malas ketika duduk di parlemen itu. Namun mungkin
karena urat malu sudah putus, kesadaran itu sama sekali tak menyurutkan
keinginan mereka untuk bisa duduk kembali di lembaga wakil rakyat.
Namun
boleh diyakini bahwa rakyat niscaya punya perhitungan sendiri dalam ajang
pemilu nanti. Jangan pernah berasumsi bahwa mereka adalah kelompok manusia
amnesia atas segala kinerja buruk wakil-wakil mereka di parlemen selama ini.
Ingatan
dan kesadaran rakyat tentang figur-figur legislator tidak amanah tak bakal
menguap oleh segala macam reka pencitraan.
Rakyat
kini sudah semakin melek. Mereka pasti menyimpan catatan-catatan buruk mengenai
sosok wakil-wakil rakyat yang tidak amanah. Catatan-catatan ini niscaya menjadi
rujukan mereka dalam menimbang kepatutan sosok-sosok yang ingin duduk kembali
di parlemen.
Jadi,
wakil-wakil rakyat yang maju kembali sebagai calon lagislator bersiaplah untuk
dihakimi rakyat. Kalau buku rapor sebagai wakil rakyat tergolong kinclong,
mereka layak berbesar hati bisa terpilih kembali melenggang ke Senayan. Tapi
kalau buku rapor itu buram, mereka harus bersiap menelan kekecewaan: gagal
lolos kembali ke parlemen.***
Jakarta,
19 Mei 2013