19 Mei 2013

Presensi Wakil Rakyat


Data presensi anggota parlemen sepanjang tahun 2012, yang akhir pekan lalu dirilis Badan Kehormatan DPR, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa banyak wakil rakyat tidak amanah. Dengan tingkat kehadiran di bawah 50 persen -- bahkan beberapa orang praktis nol persen alias membolos melulu selama satu masa persidangan -- bagaimana mungkin bisa mengatakan bahwa mereka serius mengemban peran dan fungsi mereka sebagai wakil rakyat.

Bahwa mereka masing-masing punya alasan atau pembenaran soal rendahnya tingkat presensi itu, tetap saja sulit diingkari bahwa pada dasarnya mereka tidak amanah. Mereka lebih memprioritaskan kegiatan di luar peran dan fungsi utama mereka di parlemen: mengikuti persidangan. Mereka tidak serius, ogah-ogahan, atau malas menjalani kewajiban sebagai legislator. Komitmen mereka sebagai wakil rakyat, karena itu, lebih banyak merupakan omong kosong.

Jadi, presensi buruk anggota parlemen dalam mengikuti persidangan ini sungguh merupakan buku rapor yang tidak elok. Mereka yang punya presensi buruk tak layak membanggakan diri sebagai wakil rakyat. Bahkan, secara etis dan moral, mestinya mereka meminta maaf kepada rakyat. Meminta maaf atas sikap tidak amanah mereka sebagai wakil rakyat. Tindakan tersebut sungguh patut karena bagaimanapun abai terhadap amanah yang dipercayakan rakyat adalah khianat.

Tetapi, kesadaran etis dan moral macam itu tampaknya tak dimiliki wakil-wakil rakyat yang banyak membolos itu. Bahkan, menghadapi Pemilu 2014, banyak anggota parlemen yang tergolong pemalas ini maju lagi menjadi calon legislator. Seolah tanpa beban sama sekali, mereka begitu percaya diri melangkah untuk meminta restu rakyat guna bisa duduk kembali di parlemen.

Itu sungguh menyedihkan. Dengan sikap mental yang sungguh tidak mengesankan, mereka masih saja tergerak maju kembali sebagai calon anggota parlemen. Mereka menganggap rakyat seolah buta-tuli atas mental malas mereka selama ini duduk di lembaga legislatif. Mereka sepertinya begitu yakin bahwa rakyat bisa gampang dibuai oleh gincu-gincu yang sengaja mereka buat dalam menghadapi perhelatan pemilu nanti.

Atau, boleh jadi, mereka bukan tidak menyadari bahwa rakyat juga melek atas sikap mental mereka yang cenderung malas ketika duduk di parlemen itu. Namun mungkin karena urat malu sudah putus, kesadaran itu sama sekali tak menyurutkan keinginan mereka untuk bisa duduk kembali di lembaga wakil rakyat.

Namun boleh diyakini bahwa rakyat niscaya punya perhitungan sendiri dalam ajang pemilu nanti. Jangan pernah berasumsi bahwa mereka adalah kelompok manusia amnesia atas segala kinerja buruk wakil-wakil mereka di parlemen selama ini.
Ingatan dan kesadaran rakyat tentang figur-figur legislator tidak amanah tak bakal menguap oleh segala macam reka pencitraan.

Rakyat kini sudah semakin melek. Mereka pasti menyimpan catatan-catatan buruk mengenai sosok wakil-wakil rakyat yang tidak amanah. Catatan-catatan ini niscaya menjadi rujukan mereka dalam menimbang kepatutan sosok-sosok yang ingin duduk kembali di parlemen.

Jadi, wakil-wakil rakyat yang maju kembali sebagai calon lagislator bersiaplah untuk dihakimi rakyat. Kalau buku rapor sebagai wakil rakyat tergolong kinclong, mereka layak berbesar hati bisa terpilih kembali melenggang ke Senayan. Tapi kalau buku rapor itu buram, mereka harus bersiap menelan kekecewaan: gagal lolos kembali ke parlemen.***


Jakarta, 19 Mei 2013