Tantangan yang
dihadapi Agus Martowardojo sebagai pejabat baru Gubernur Bank Indonesia (BI)
sungguh tidak ringan. Meski fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sudah
tidak lagi melekat di BI -- karena fungsi tersebut diambil-alih Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) --, tantangan bagi Agus di pucuk pimpinan bank sentral tidak
serta-merta menjadi lebih ringan dibanding pendahulu-pendahulunya. Tantangan
itu tetap berat -- bahkan mungkin lebih kompleks.
Kompeksitas itu
lahir dari sejumlah kondisi internal maupun eksternal ekonomi nasional di
hari-hari sekarang ini yang tergolong krusial. Dalam konteks ini,
kebijakan-kebijakan BI di sektor moneter -- notabene sekarang sektor tersebut
merupakan fokus bank sentral pascapembentukan OJK -- mesti kian menjadi
katalisator yang kondusif sekaligus efektif dan optimal dalam menggerakkan
sektor riil.
Untuk itu,
kebijakan moneter tak boleh seolah-olah berada di ruang hampa sehingga tidak
mampu memberi kontribusi positif terhadap kehidupan ekonomi nasional.
Kontribusi itu terutama merujuk kepada pertumbuhan ekonomi yang sangat
diharapkan menjadi lebih berkualitas: membuka banyak lapangan kerja, mengurangi
kemiskinan, juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat banyak.
Dalam perspektif
internal, kondisi krusial ekonomi nasional yang harus dapat disiasati BI dengan
efektif adalah inflasi. Bagaimanapun, seiring penaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) subsidi yang sekarang ini tinggal menunggu pemerintah mengetukkan palu,
inflasi sangat potensial membubung tinggi.
Itu krusial
karena dalam beberapa bulan terakhir saja inflasi sudah cenderung liar. Di sisi
lain, belanja besar-besaran berbagai parpol dalam rangka memenangi pemilu pada
tahun depan juga menjadi faktor tambahan yang niscaya membuat inflasi ini kian
krusial. Jika tak benar-benar bisa dijinakkan BI melalui kebijakan-kebijakan
yang kondusif, inflasi niscaya membuat ekonomi nasional babak-belur. Sebut saja
pertumbuhan ekonomi sulit mencapai level-level yang menjadi target pemerintah
-- sekaligus tidak berkualitas.
Dalam konteks
itu, kinerja ekspor sulit bisa diharapkan membaik. Konsekuensinya, defisit
dalam neraca pembayaran yang tertoreh sejak tahun anggaran lalu pun bisa
menjadi kian menjadi-jadi. Padahal APBN sendiri juga terbebani beban desifit
yang sudah tak bisa lagi dipandang remeh.
Kondisi-kondisi
seperti itu niscaya membuat persepsi pasar uang menjadi cenderung negatif.
Justru itu, stabilitas kurs rupiah pun dalam hari-hari mendatang ini menjadi
pertaruhan. Terlebih di tengah kondisi ekonomi global yang belum juga kondusif,
stabilitas kurs rupiah sungguh krusial. Padahal, sebagaimana sudah terbukti
dalam krisis keuangan nasional tahun 1997/1998, kurs adalah salah satu fundamen
ketahanan ekonomi.
Namun dengan
posisi yang kini lebih fokus di sektor moneter, setelah fungsi pengaturan dan
pengawasan perbankan beralih ke pundak OJK, BI bisa diharapkan mampu mengatasi
tantangan-tantangan dalam dinamika ekonomi nasional. Terlebih lagi di bawah
kendali Agus Martowardojo yang memiliki jam terbang tinggi sebagai profesional
di industri perbankan, BI niscaya bisa lebih paham tabiat dan gelagat sektor
moneter.
Artinya, BI boleh
diyakini tak bakal gugup ataupun gagap dalam menghela sektor moneter menjadi
faktor kondusif terhadap kehidupan ekonomi nasional, wabil khusus sektor riil.
Dengan demikian,
kontribusi BI dalam percaturan ekonomi dalam negeri ke depan ini tetap nyata
dan signifikan -- bahkan menentukan.***
Jakarta, 23 Mei
2013