23 Mei 2013

Tantangan Gubernur BI


Tantangan yang dihadapi Agus Martowardojo sebagai pejabat baru Gubernur Bank Indonesia (BI) sungguh tidak ringan. Meski fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sudah tidak lagi melekat di BI -- karena fungsi tersebut diambil-alih Otoritas Jasa Keuangan (OJK) --, tantangan bagi Agus di pucuk pimpinan bank sentral tidak serta-merta menjadi lebih ringan dibanding pendahulu-pendahulunya. Tantangan itu tetap berat -- bahkan mungkin lebih kompleks.

Kompeksitas itu lahir dari sejumlah kondisi internal maupun eksternal ekonomi nasional di hari-hari sekarang ini yang tergolong krusial. Dalam konteks ini, kebijakan-kebijakan BI di sektor moneter -- notabene sekarang sektor tersebut merupakan fokus bank sentral pascapembentukan OJK -- mesti kian menjadi katalisator yang kondusif sekaligus efektif dan optimal dalam menggerakkan sektor riil.

Untuk itu, kebijakan moneter tak boleh seolah-olah berada di ruang hampa sehingga tidak mampu memberi kontribusi positif terhadap kehidupan ekonomi nasional. Kontribusi itu terutama merujuk kepada pertumbuhan ekonomi yang sangat diharapkan menjadi lebih berkualitas: membuka banyak lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat banyak.

Dalam perspektif internal, kondisi krusial ekonomi nasional yang harus dapat disiasati BI dengan efektif adalah inflasi. Bagaimanapun, seiring penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang sekarang ini tinggal menunggu pemerintah mengetukkan palu, inflasi sangat potensial membubung tinggi.

Itu krusial karena dalam beberapa bulan terakhir saja inflasi sudah cenderung liar. Di sisi lain, belanja besar-besaran berbagai parpol dalam rangka memenangi pemilu pada tahun depan juga menjadi faktor tambahan yang niscaya membuat inflasi ini kian krusial. Jika tak benar-benar bisa dijinakkan BI melalui kebijakan-kebijakan yang kondusif, inflasi niscaya membuat ekonomi nasional babak-belur. Sebut saja pertumbuhan ekonomi sulit mencapai level-level yang menjadi target pemerintah -- sekaligus tidak berkualitas.

Dalam konteks itu, kinerja ekspor sulit bisa diharapkan membaik. Konsekuensinya, defisit dalam neraca pembayaran yang tertoreh sejak tahun anggaran lalu pun bisa menjadi kian menjadi-jadi. Padahal APBN sendiri juga terbebani beban desifit yang sudah tak bisa lagi dipandang remeh.

Kondisi-kondisi seperti itu niscaya membuat persepsi pasar uang menjadi cenderung negatif. Justru itu, stabilitas kurs rupiah pun dalam hari-hari mendatang ini menjadi pertaruhan. Terlebih di tengah kondisi ekonomi global yang belum juga kondusif, stabilitas kurs rupiah sungguh krusial. Padahal, sebagaimana sudah terbukti dalam krisis keuangan nasional tahun 1997/1998, kurs adalah salah satu fundamen ketahanan ekonomi.

Namun dengan posisi yang kini lebih fokus di sektor moneter, setelah fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan beralih ke pundak OJK, BI bisa diharapkan mampu mengatasi tantangan-tantangan dalam dinamika ekonomi nasional. Terlebih lagi di bawah kendali Agus Martowardojo yang memiliki jam terbang tinggi sebagai profesional di industri perbankan, BI niscaya bisa lebih paham tabiat dan gelagat sektor moneter.

Artinya, BI boleh diyakini tak bakal gugup ataupun gagap dalam menghela sektor moneter menjadi faktor kondusif terhadap kehidupan ekonomi nasional, wabil khusus sektor riil.
Dengan demikian, kontribusi BI dalam percaturan ekonomi dalam negeri ke depan ini tetap nyata dan signifikan -- bahkan menentukan.***

 Jakarta, 23 Mei 2013