10 Mei 2013

Kompensasi Penaikan BBM


Keinginan baik pemerintah menggulirkan program kompensasi penaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi bagi masyarakat miskin jelas patut diapresiasi. Patut, karena bagi masyarakat miskin, penaikan harga BBM subsidi niscaya berdampak sangat menohok. Penaikan itu membuat beban kehidupan ekonomi mereka menjadi bertambah berat. Dalam bahasa lugas, kehidupan mereka semakin miskin.

Jadi, program kompensasasi bukan saja layak, melainkan memang patut diberikan. Dengan program tersebut, penaikan harga BBM subsidi diharapkan tak kelewat dalam menghempaskan masyarakat lapisan bawah ke jurang kemiskinan. Syukur-syukur kalau program itu memang bisa menyelamatkan masyarakat miskin tidak semakin kere.

Meski begitu, program kompensasi penaikan harga BBM subsidi ini patut disadari sungguh rawan manipulasi untuk kepentingan parpol penguasa. Seperti tecermin dalam sejumlah kasus pilkada, program tersebut bisa dimanfaatkan parpol penguasa menjadi "gula-gula" politik.

Dalam konteks perhelatan akbar berupa Pemilu 2014, program kompensasi penaikan harga BBM subsidi memang sangat seksi. Program tersebut bisa berdampak mengerek citra positif penguasa di mata rakyat -- khususnya masyarakat miskin. Demikian seksi, sehingga program itu benar-benar bisa berdampak melicinkan jalan bagi parpol penguasa dalam mendulang suara pada pemilu nanti.

Dalam perspektif etis dan spirit demokrasi, semua itu tak boleh terjadi. Program kompensasi penaikan harga BBM subsidi sungguh tak boleh sampai dimanfaatkan parpol penguasa sebagai kuda tunggangan untuk menjala simpati rakyat dalam rangka pemenangan pemilu mendatang.

Untuk itu, berbagai pihak wajib mengawal program kompensasi penaikan harga BBM ini agar benar-benar bergulir pada alur yang benar dan tidak mengandung bias-bias politik. Secara nominal, misalnya, program tersebut harus dibuat berkewajaran sehingga tidak lantas berubah menjadi "gula-gula" politik menguntungkan parpol penguasa.

Dalam konteks itu, parlemen sangat diharapkan mampu melakukan peran strategis dalam menentukan anggaran kompensasi. Selain melakukan hitung-hitungan tentang besaran kompensasi yang layak dinikmati setiap keluarga miskin, parlemen juga mesti bisa mematok rentang waktu yang berkelayakan untuk pengucuran kompensasi -- sehingga program tersebut kelak tidak lantas menjadi kuda tunggangan yang dimanfaatkan parpol penguasa dalam menyongsong pemilu.

Jadi, intinya, secara operasional peluncuran program kompensasi penaikan harga BBM subsidi bagi masyarakat miskin harus benar-benar bersifat sementara. Makna sementara ini harus dijabarkan dalam rentang waktu yang jelas: tidak kelewat pendek, tapi juga tidak berkepanjangan.

Selain itu, juga program kompensasi hanya boleh digelar jauh dari momen pemilu. Artinya, kompensasi dibagikan segera setelah pemerintah memutuskan penaikan harga BBM subsidi. Tapi juga tidak boleh sampai terjadi kompensasi baru ditabur pada saat-saat yang sudah sangat dekat dengan momen pemilu.

Bagaimanapun, program kompensasi ini dibiayai uang rakyat. Justru itu, berbagai kemungkinan program tersebut dimanipulasi seolah-olah melulu berkah yang ditabur penguasa harus bisa dienyahkan. Karena itu, sekali lagi, kontrol berbagai pihak amat diperlukan.***

 Jakarta, 10 Mei 2013