Keinginan baik
pemerintah menggulirkan program kompensasi penaikan bahan bakar minyak (BBM)
subsidi bagi masyarakat miskin jelas patut diapresiasi. Patut, karena bagi
masyarakat miskin, penaikan harga BBM subsidi niscaya berdampak sangat menohok.
Penaikan itu membuat beban kehidupan ekonomi mereka menjadi bertambah berat.
Dalam bahasa lugas, kehidupan mereka semakin miskin.
Jadi, program
kompensasasi bukan saja layak, melainkan memang patut diberikan. Dengan program
tersebut, penaikan harga BBM subsidi diharapkan tak kelewat dalam menghempaskan
masyarakat lapisan bawah ke jurang kemiskinan. Syukur-syukur kalau program itu
memang bisa menyelamatkan masyarakat miskin tidak semakin kere.
Meski begitu,
program kompensasi penaikan harga BBM subsidi ini patut disadari sungguh rawan
manipulasi untuk kepentingan parpol penguasa. Seperti tecermin dalam sejumlah
kasus pilkada, program tersebut bisa dimanfaatkan parpol penguasa menjadi
"gula-gula" politik.
Dalam konteks
perhelatan akbar berupa Pemilu 2014, program kompensasi penaikan harga BBM
subsidi memang sangat seksi. Program tersebut bisa berdampak mengerek citra
positif penguasa di mata rakyat -- khususnya masyarakat miskin. Demikian seksi,
sehingga program itu benar-benar bisa berdampak melicinkan jalan bagi parpol
penguasa dalam mendulang suara pada pemilu nanti.
Dalam perspektif
etis dan spirit demokrasi, semua itu tak boleh terjadi. Program kompensasi
penaikan harga BBM subsidi sungguh tak boleh sampai dimanfaatkan parpol
penguasa sebagai kuda tunggangan untuk menjala simpati rakyat dalam rangka
pemenangan pemilu mendatang.
Untuk itu,
berbagai pihak wajib mengawal program kompensasi penaikan harga BBM ini agar
benar-benar bergulir pada alur yang benar dan tidak mengandung bias-bias
politik. Secara nominal, misalnya, program tersebut harus dibuat berkewajaran
sehingga tidak lantas berubah menjadi "gula-gula" politik
menguntungkan parpol penguasa.
Dalam konteks
itu, parlemen sangat diharapkan mampu melakukan peran strategis dalam
menentukan anggaran kompensasi. Selain melakukan hitung-hitungan tentang
besaran kompensasi yang layak dinikmati setiap keluarga miskin, parlemen juga
mesti bisa mematok rentang waktu yang berkelayakan untuk pengucuran kompensasi
-- sehingga program tersebut kelak tidak lantas menjadi kuda tunggangan yang
dimanfaatkan parpol penguasa dalam menyongsong pemilu.
Jadi, intinya,
secara operasional peluncuran program kompensasi penaikan harga BBM subsidi
bagi masyarakat miskin harus benar-benar bersifat sementara. Makna sementara
ini harus dijabarkan dalam rentang waktu yang jelas: tidak kelewat pendek, tapi
juga tidak berkepanjangan.
Selain itu, juga
program kompensasi hanya boleh digelar jauh dari momen pemilu. Artinya, kompensasi
dibagikan segera setelah pemerintah memutuskan penaikan harga BBM subsidi. Tapi
juga tidak boleh sampai terjadi kompensasi baru ditabur pada saat-saat yang
sudah sangat dekat dengan momen pemilu.
Bagaimanapun,
program kompensasi ini dibiayai uang rakyat. Justru itu, berbagai kemungkinan
program tersebut dimanipulasi seolah-olah melulu berkah yang ditabur penguasa
harus bisa dienyahkan. Karena itu, sekali lagi, kontrol berbagai pihak amat
diperlukan.***
Jakarta, 10 Mei
2013