Upaya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita beberapa kendaraan yang disebut-sebut milik
mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq menjadi
sebuah drama seru. Bak kisah sinetron, drama tersebut mempertunjukkan
perlawanan PKS: menolak penyitaan karena tindakan tersebut mereka nilai
mengabaikan prosedur dan ketentuan perundangan.
Publik sempat
menduga bahwa drama itu segera antiklimaks setelah mantan Presiden PKS yang
kini menjabat Menkominfo, Tifatul Sembiring, Rabu pekan lalu tampil
mendinginkan suasana. Dia mempersilakan KPK mengambil mobil-mobil yang akan
disita itu dari parkiran di kantor DPP PKS di Jakarta.
Namun boleh jadi
sikap Tifatul itu lebih bersifat pribadi,
karena toh secara kelembagaan PKS tetap berkukuh menolak penyitaan.
Bahkan PKS semakin menunjukkan sikap perlawanan. Mereka bukan saja menggelar
semacam pagar betis di kantor mereka di Jakarta, melainkan juga mengancam
mengadukan KPK kepada kepolisian, DPR, dan Komisi Etik KPK.
Di lain pihak,
KPK sendiri tak menunjukkan gelagat melunak atau mau mengambil langkah surut.
Mereka tetap pada pendirian bahwa lima mobil mewah yang disebut-sebut milik
Luthfi Hasan Ishaaq harus disita. Kendaraan-kendaraan itu coba disita karena
diduga merupakan bukti tindak pencucian uang terkait kasus suap impor daging
sapi yang membelit Luthfi.
Menghadapi
penghadangan dan perlawanan PKS atas upaya penyitaan ini, pimpinan KPK juga tak
kalah bersikap keras. Seperti kata Ketua KPK Abraham Samad, KPK akan melakukan
tindakan represif kalau saja PKS tetap tidak kooperatif. Untuk itu, konon, KPK
dibantu kepolisian akan melakukan upaya paksa penyitaan.
Walhasil, drama
penyitaan kendaraan di kantor DPP PKS ini semakin seru saja. Bolah jadi,
klimaks drama tersebut tergelar manakala KPK jadi melaksanakan penyitaan paksa.
Tindakan tersebut bisa menjadi klimaks kalau PKS juga kukuh melakukan
penghadangan dan perlawanan. Bentrok fisik bukan tidak mungkin tak
terhindarkan.
Namun, tentu,
kita berharap bentrok fisik harus bisa dihindari. Bentrok fisik bukan
penyelesaian yang elegan, sehingga tidak memberi pelajaran positif bagi publik.
Publik sudah kelewat banyak disuguhi tindak kekerasan dengan berbagai latar dan
motif.
Karena itu,
masing-masing pihak perlu menahan diri: tidak melakukan tindakan-tindakan yang
lebih bersifat mempertontonkan kekerasan kepada publik. Kedua belah pihak
justru harus bisa membangun dialog konstruktif sehingga kemudian bisa
dihasilkan win win solution.
Untuk itu, di
pihak KPK, ancaman melakukan tindakan represif sungguh tidak perlu. Jika sampai
dilaksanakan, tindakan tersebut bisa menorehkan kesan bahwa KPK sudah terkena
sindrom arogansi kekuasaan. Jadi, upaya penyitaan mobil di lapangan lebih baik
tetap dilakukan sebatas prosedur yang tersedia dengan menafikan pendekatan
represif.
Di pihak PKS
sendiri, upaya perlawanan tak perlu diwujudkan dalam bentuk penghadangan
terhadap upaya penyitaan oleh KPK. Toh perlawanan juga bisa ditempuh secara
elegan. Jika prosedur hukum yang mereka persoalkan, kenapa bukan jalur hukum
pula yang ditempuh untuk melakukan perlawanan ini. Dalam konteks ini, mengadu
kepada institusi kepolisian, DPR, dan Komite Etik KPK sendiri sudah merupakan
langkah benar.
Nah, langkah itu
tak perlu dibarengi upaya penghadangan terhadap tindak penyitaan oleh KPK di
lapangan. Tindak penghadangan justru bisa mengundang antipati publik: seolah
PKS memelihara tabiat premanisme. Itu sungguh memperburuk citra kelembagaan PKS
di tengah sorotan luas terhadap kasus korupsi dan pencucian uang yang membelit
Luthfi Hasan Ishaaq bersama Ahmad Fathanah.***
Jakarta, 12 Mei
2013