12 Mei 2013

Drama Penyitaan


Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita beberapa kendaraan yang disebut-sebut milik mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq menjadi sebuah drama seru. Bak kisah sinetron, drama tersebut mempertunjukkan perlawanan PKS: menolak penyitaan karena tindakan tersebut mereka nilai mengabaikan prosedur dan ketentuan perundangan.

Publik sempat menduga bahwa drama itu segera antiklimaks setelah mantan Presiden PKS yang kini menjabat Menkominfo, Tifatul Sembiring, Rabu pekan lalu tampil mendinginkan suasana. Dia mempersilakan KPK mengambil mobil-mobil yang akan disita itu dari parkiran di kantor DPP PKS di Jakarta.

Namun boleh jadi sikap Tifatul itu lebih bersifat pribadi,  karena toh secara kelembagaan PKS tetap berkukuh menolak penyitaan. Bahkan PKS semakin menunjukkan sikap perlawanan. Mereka bukan saja menggelar semacam pagar betis di kantor mereka di Jakarta, melainkan juga mengancam mengadukan KPK kepada kepolisian, DPR, dan Komisi Etik KPK.

Di lain pihak, KPK sendiri tak menunjukkan gelagat melunak atau mau mengambil langkah surut. Mereka tetap pada pendirian bahwa lima mobil mewah yang disebut-sebut milik Luthfi Hasan Ishaaq harus disita. Kendaraan-kendaraan itu coba disita karena diduga merupakan bukti tindak pencucian uang terkait kasus suap impor daging sapi yang membelit Luthfi.

Menghadapi penghadangan dan perlawanan PKS atas upaya penyitaan ini, pimpinan KPK juga tak kalah bersikap keras. Seperti kata Ketua KPK Abraham Samad, KPK akan melakukan tindakan represif kalau saja PKS tetap tidak kooperatif. Untuk itu, konon, KPK dibantu kepolisian akan melakukan upaya paksa penyitaan.

Walhasil, drama penyitaan kendaraan di kantor DPP PKS ini semakin seru saja. Bolah jadi, klimaks drama tersebut tergelar manakala KPK jadi melaksanakan penyitaan paksa. Tindakan tersebut bisa menjadi klimaks kalau PKS juga kukuh melakukan penghadangan dan perlawanan. Bentrok fisik bukan tidak mungkin tak terhindarkan.

Namun, tentu, kita berharap bentrok fisik harus bisa dihindari. Bentrok fisik bukan penyelesaian yang elegan, sehingga tidak memberi pelajaran positif bagi publik. Publik sudah kelewat banyak disuguhi tindak kekerasan dengan berbagai latar dan motif.

Karena itu, masing-masing pihak perlu menahan diri: tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih bersifat mempertontonkan kekerasan kepada publik. Kedua belah pihak justru harus bisa membangun dialog konstruktif sehingga kemudian bisa dihasilkan win win solution.

Untuk itu, di pihak KPK, ancaman melakukan tindakan represif sungguh tidak perlu. Jika sampai dilaksanakan, tindakan tersebut bisa menorehkan kesan bahwa KPK sudah terkena sindrom arogansi kekuasaan. Jadi, upaya penyitaan mobil di lapangan lebih baik tetap dilakukan sebatas prosedur yang tersedia dengan menafikan pendekatan represif.

Di pihak PKS sendiri, upaya perlawanan tak perlu diwujudkan dalam bentuk penghadangan terhadap upaya penyitaan oleh KPK. Toh perlawanan juga bisa ditempuh secara elegan. Jika prosedur hukum yang mereka persoalkan, kenapa bukan jalur hukum pula yang ditempuh untuk melakukan perlawanan ini. Dalam konteks ini, mengadu kepada institusi kepolisian, DPR, dan Komite Etik KPK sendiri sudah merupakan langkah benar.

Nah, langkah itu tak perlu dibarengi upaya penghadangan terhadap tindak penyitaan oleh KPK di lapangan. Tindak penghadangan justru bisa mengundang antipati publik: seolah PKS memelihara tabiat premanisme. Itu sungguh memperburuk citra kelembagaan PKS di tengah sorotan luas terhadap kasus korupsi dan pencucian uang yang membelit Luthfi Hasan Ishaaq bersama Ahmad Fathanah.***

Jakarta, 12 Mei 2013