Pantas saja
korupsi di Indonesia tetap saja merajalela. Meski pemberantasan korupsi kian
gencar dilakukan aparat penegak hukum, orang tidak takut sekaligus tidak malu
menjadi terpidana korupsi. Rupanya kini orang tidak miris ataupun kapok
melakukan korupsi.
Itu bukan sekadar
lantaran sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan secara umum relatif ringan,
melainkan juga karena proses pemidanaan tidak menghadirkan "derita".
Terpidana kasus korupsi nyaris tidak merasakan proses pemidanaan sebagai
sesuatu yang "menyiksa".
Seperti kata
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, sanksi pidana terhadap
pelaku kasus korupsi ini sudah tidak efektif menimbulkan efek jera. Bagi
terpidana kasus korupsi, penerapan sanksi pidana sama sekali sudah tidak
menimbulkan kondisi-konsisi yang bersifat "menyiksa".
Itu bisa terjadi
karena mental aparat juga bobrok sehingga gampang disogok. Jadi, dengan uang di
tangan, terpidana kasus korupsi bisa leluasa menyulap proses pidana menjadi
sekadar "permainan petak umpet". Meski dijebloskan ke penjara, mereka
bisa tetap menikmati kebebasan. Mereka bisa keluar-masuk lembaga pemasyarakatan
(lapas) kapan saja mereka mau -- dengan prosedur resmi ataupun sekadar memberi
salam tempel; dengan pengawalan petugas lapas ataupun tidak.
Bahkan, menurut
Samad, tak sulit ditemukan terpidana kasus korupsi yang praktis tidak pernah bermalam
di lapas. Mereka setiap hari bermalam di rumah masing-masing -- atau mungkin di
tempat lain. Mereka keluar sore hari, dan baru muncul lagi di lapas esok pagi.
Di dalam lapas
sendiri, sebagaimana sudah terungkap dalam sejumlah kasus -- antara lain kasus
Artalyta Suryani, eks narapidana kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan -- terpidana
berkantung tebal macam koruptor tetap bisa menikmati kenyamanan luks kelas
eksekutif. Mereka sama sekali tak merasakan sel tahanan sebagai
"neraka": pengap dan berdesakan. Dengan menyuap aparat, mereka bisa
menyulap sel tahanan menjadi laiknya hotel berbintang.
Karena itu, bagi
terpidana kasus korupsi, lapas cuma tempat persinggahan. Sekadar tempat melepas
lelah setelah menjalani aktivitas entah apa di luar tembok penjara. Atau,
paling tidak, lapas sekadar menjadi tempat menikmati -- dan sedikit berbagi --
hasil korupsi.
Atas dasar itu,
amat beralasan Samad sampai secara terbuka berkeluh-kesah soal efektivitas
proses pemidanaan pelaku kasus korupsi ini. Tapi jangankan Samad, bahkan rakyat
jelata pun pasti risau -- karena proses penindakan hukum nyaris menjadi
sia-sia. Juga karena praktik korupsi niscaya jadi sulit diharapkan bisa mereda
alias tetap merajalela.
Karena itu,
Kemhumham wajib membenahi berbagai institusi penahanan, termasuk lapas.
Inspeksi mendadak saja tidak cukup. Pembenahan harus dilakukan secara mendasar
sehingga berbagai kelemahan yang memungkinkan oknum petugas memperjualbelikan
"kebebasan" tahanan bisa diatasi. Pengawasan dan sanksi tegas dan
lugas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran mutlak harus diterapkan.
Bahkan, jika memungkinkan, seluruh petugas lapangan diganti dengan orang-orang
yang belum "terkontaminasi" virus mental bobrok.
Di sisi lain,
sanksi hukum bagi pelaku kasus korupsi juga harus lebih optimal. Tak cukup
sekadar pidana kurungan badan, sanksi denda dan pengembalian hasil korupsi juga
harus sangat maksimal. Intinya, mereka yang menjadi terpidana kasus korupsi
harus benar-benar dibuat miskin.
Tanpa kelugasan
hukum seperti itu, praktik korupsi niscaya tak akan pernah reda alias kian
merajalela. Orang makin tak takut melakukan korupsi -- karena korupsi dipandang
sekadar soal kesempatan dan nasib baik.***