Ibarat rumput
liar, terorisme di negeri Indonesia ini tak mati-mati. Meski terus dibabat,
akar terorisme tetap mampu bertahan alias tidak lantas hilang musnah. Seiring
situasi dan kondisi yang berkembang, akar itu pada saatnya memunculkan lagi
aksi teror -- dengan aktor baru dan justifikasi baru pula.
Karena itu,
terorisme di Indonesia terus saja muncul dan muncul lagi. Bak kredo sebuah
satuan militer: patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.
Kasus teranyar,
Kamis lalu dua orang yang diduga berencana melakukan aksi teror dibekuk tim
Densus 88 Antiteror Polri. Kedua orang itu ditangkap di kawasan Bendungan
Hilir, Jakarta. Tim Densus menemukan lima rakitan bom pipa dari ransel milik
salah seorang terduga. Konon, tim Densus masih memburu beberapa orang lagi yang
diduga ikut tersangkut rencana aksi teror itu.
Konon pula,
sasaran aksi mereka adalah kantor Kedubes Myanmar di Jakarta. Mereka ingin
mengebom Kedubes Myanmar sebagai bentuk protes sekaligus balasan atas kasus
sektarianisme di negara itu. Bagi mereka, pemerintah Myanmar harus diberi
"pelajaran" karena melakukan pembiaran sehingga sejumlah warga Muslim
menjadi korban kebrutalan tindak sektarianisme.
Tetapi sikap
setia kawan terhadap Muslim Myanmar itu cuma justifikasi dan pemicu. Kedubes
Myanmar sekadar sebuah sasaran tembak. Bagaimanapun, rencana aksi teror yang
berhasil digagalkan itu lebih merupakan penegasan bahwa terorisme di Indonesia
memang masih berurat-berakar.
Tak bisa tidak,
karena itu, pertanyaan lama dan mendasar pun mencuat kembali. Kenapa terorisme
di Indonesia tak kunjung bisa diberantas hingga tuntas? Paling tidak, kenapa
aksi terorisme di negeri kita begitu sering terjadi dan gampang meletup?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu makin menggelitik di tengah desakan sejumlah elemen masyarakat
sekarang ini yang meminta agar Densus 88 Antiteror dievaluasi atau bahkan
dibubarkan. Desakan tersebut muncul sebagai wujud keprihatinan atas
sikap-tindak Densus 88 dalam memberantas terorisme selama ini: cenderung brutal
dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Juga lantaran
operasi-operasi Densus 88 dinilai condong menyudutkan umat Islam -- terutama
karena aksi jahat serupa yang melibatkan kelompok atau umat lain tak
serta-merta diberi label terorisme.
Atas dasar itu,
jangan-jangan benar adanya bahwa terorisme di Indonesia tetap menggejala lebih
sebagai wujud perlawanan dan balas dendam sekelompok kecil orang terhadap
institusi Densus 88. Mereka, kelompok kecil itu, tidak selalu punya kaitan
langsung atau merupakan jaringan kelompok yang meletupkan aksi-aksi teror
sebelumnya.
Dengan kata lain,
boleh jadi, mereka itu adalah pribadi-pribadi lain sama sekali tetapi mengalami
luka batin oleh sepak-terjang Densus 88. Luka batin itu tertoreh karena
tindakan-tindakan Densus 88 dalam memperlakukan terduga teroris mereka nilai
kebablasan dan mendiskreditkan in-group mereka.
Karena itu, tanpa
mengurangi apresiasi terhadap prestasi Densus 88 dalam mendeteksi dan
mengungkap aksi-aksi terorisme selama ini, soal luka batin tadi perlu dijadikan
pijakan ke arah penataan ulang institusi Densus 88 sendiri. Bagaimanapun, ihwal
"luka batin" itu tak patut dinafikan begitu saja -- karena sangat
boleh jadi memang merupakan faktor yang memicu dendam berwujud teror-teror
baru.
Jadi, Densus 88
tak boleh sekadar berbangga diri karena senantiasa mampu mendeteksi,
menggagalkan, atau mengungkap aksi-aksi baru terorisme. Aksi-aksi baru itu
justru harus dijadikan pijakan untuk introspeksi dan menata ulang tindakan
menjadi lebih berkeadaban.***
Jakarta, 3 Mei
2013