13 Mei 2013

Aksi Baru Terorisme


Ibarat rumput liar, terorisme di negeri Indonesia ini tak mati-mati. Meski terus dibabat, akar terorisme tetap mampu bertahan alias tidak lantas hilang musnah. Seiring situasi dan kondisi yang berkembang, akar itu pada saatnya memunculkan lagi aksi teror -- dengan aktor baru dan justifikasi baru pula.

Karena itu, terorisme di Indonesia terus saja muncul dan muncul lagi. Bak kredo sebuah satuan militer: patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.

Kasus teranyar, Kamis lalu dua orang yang diduga berencana melakukan aksi teror dibekuk tim Densus 88 Antiteror Polri. Kedua orang itu ditangkap di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Tim Densus menemukan lima rakitan bom pipa dari ransel milik salah seorang terduga. Konon, tim Densus masih memburu beberapa orang lagi yang diduga ikut tersangkut rencana aksi teror itu.

Konon pula, sasaran aksi mereka adalah kantor Kedubes Myanmar di Jakarta. Mereka ingin mengebom Kedubes Myanmar sebagai bentuk protes sekaligus balasan atas kasus sektarianisme di negara itu. Bagi mereka, pemerintah Myanmar harus diberi "pelajaran" karena melakukan pembiaran sehingga sejumlah warga Muslim menjadi korban kebrutalan tindak sektarianisme.

Tetapi sikap setia kawan terhadap Muslim Myanmar itu cuma justifikasi dan pemicu. Kedubes Myanmar sekadar sebuah sasaran tembak. Bagaimanapun, rencana aksi teror yang berhasil digagalkan itu lebih merupakan penegasan bahwa terorisme di Indonesia memang masih berurat-berakar.

Tak bisa tidak, karena itu, pertanyaan lama dan mendasar pun mencuat kembali. Kenapa terorisme di Indonesia tak kunjung bisa diberantas hingga tuntas? Paling tidak, kenapa aksi terorisme di negeri kita begitu sering terjadi dan gampang meletup?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu makin menggelitik di tengah desakan sejumlah elemen masyarakat sekarang ini yang meminta agar Densus 88 Antiteror dievaluasi atau bahkan dibubarkan. Desakan tersebut muncul sebagai wujud keprihatinan atas sikap-tindak Densus 88 dalam memberantas terorisme selama ini: cenderung brutal dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Juga lantaran operasi-operasi Densus 88 dinilai condong menyudutkan umat Islam -- terutama karena aksi jahat serupa yang melibatkan kelompok atau umat lain tak serta-merta diberi label terorisme.

Atas dasar itu, jangan-jangan benar adanya bahwa terorisme di Indonesia tetap menggejala lebih sebagai wujud perlawanan dan balas dendam sekelompok kecil orang terhadap institusi Densus 88. Mereka, kelompok kecil itu, tidak selalu punya kaitan langsung atau merupakan jaringan kelompok yang meletupkan aksi-aksi teror sebelumnya.

Dengan kata lain, boleh jadi, mereka itu adalah pribadi-pribadi lain sama sekali tetapi mengalami luka batin oleh sepak-terjang Densus 88. Luka batin itu tertoreh karena tindakan-tindakan Densus 88 dalam memperlakukan terduga teroris mereka nilai kebablasan dan mendiskreditkan in-group mereka.

Karena itu, tanpa mengurangi apresiasi terhadap prestasi Densus 88 dalam mendeteksi dan mengungkap aksi-aksi terorisme selama ini, soal luka batin tadi perlu dijadikan pijakan ke arah penataan ulang institusi Densus 88 sendiri. Bagaimanapun, ihwal "luka batin" itu tak patut dinafikan begitu saja -- karena sangat boleh jadi memang merupakan faktor yang memicu dendam berwujud teror-teror baru.

Jadi, Densus 88 tak boleh sekadar berbangga diri karena senantiasa mampu mendeteksi, menggagalkan, atau mengungkap aksi-aksi baru terorisme. Aksi-aksi baru itu justru harus dijadikan pijakan untuk introspeksi dan menata ulang tindakan menjadi lebih berkeadaban.***

Jakarta, 3 Mei 2013