Kepastian tentang
penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi kian berlarut. Pemerintah urung
mengambil keputusan pada Selasa lalu. Padahal, sebelumnya, pemerintah memberi
sinyal kuat bahwa harga BBM subsidi dinaikkan efektif mulai awal Mei ini.
Namun alih-alih
mengetuk palu, Selasa lalu pemerintah malah melempar bola kepada parlemen.
Menurut pemerintah, harga BBM subsidi baru dinaikkan setelah DPR menyetujui
rencana pemberian kompensasi bagi masyarakat miskin. Rencana tersebut
diagendakan masuk pembahasan APBNP 2013.
Karena harus
menunggu pengesahan APBNP 2013, jelas keputusan tentang penaikan harga BBM
subsidi ini tak bisa diharapkan bisa diambil dalam waktu dekat. Pembahasan
APBNP di DPR mustahil bisa kelar hanya dalam tempo satu-dua hari.
Kondisi berlarut
itu niscaya makin berat lagi karena kalangan anggota DPR belum-belum sudah
menunjukkan resistensi terhadap program kompensasi kenaikan harga BBM subsidi
bagi masyarakat miskin. Mereka khawatir program tersebut menguntungkan partai
pemerintah: meraih simpati rakyat menjelang Pemilu 2014.
Jadi, tindakan
pemerintah melempar masalah penaikan harga BBM subsidi ini ke DPR lebih
mencerminkan sikap bingung, galau, gamang, atau bahkan tidak percaya diri. Itu
patut disesalkan -- dan sungguh mengesalkan. Melempar masalah ke DPR sama
sekali tidak perlu dan tidak relevan.
Presiden
seharusnya langsung mengambil keputusan tanpa harus berurusan dulu dengan
parlemen. Toh, berbeda dengan tahun lalu, Presiden kini tidak tertelikung
ketentuan perundangan dalam mengambil kebijakan mengenai penaikan harga BBM
subsidi ini. Otoritas untuk itu kini sepenuhnya di tangan Presiden.
Tahun lalu,
kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi tersandera UU APBNP. Kala
itu, dalam rangka pembahasan APBNP 2012, DPR mempersyaratkan kondisi tertentu
(harga minyak di pasar global) terpenuhi dulu sebelum pemerintah mengetukkan
palu tentang itu. Syarat tersebut kemudian terbukti tak terpenuhi sampai akhir
tahun anggaran, sehingga BBM subsidi pun urung dinaikkan.
Toh, seiring
konsumsi yang terus naik dan harga minyak di pasar dunia yang kian menjulang,
beban subsidi BBM terus membengkak. Jadi, pemerintah kini makin dihadapkan
kepada kebutuhan menjaga APBN tidak berdarah-darah oleh beban subsidi BBM.
Artinya, secara objektif pemerintah sudah sulit mengelaki penaikan harga BBM
subsidi.
Karena itu,
menjadi aneh bahwa pemerintah terkesankan tidak siap atau tidak percaya diri
untuk mengambil keputusan menaikkan harga BBM subsidi ini. Terlebih opsi
terbaik tentang itu sudah matang dibahas maupun disosialisasikan ke tengah
khalayak luas.
Sosialisasi itu
membuat khalayak luas boleh dikatakan sudah siap menghadapi penaikan harga BBM
subsidi. Paling tidak, secara psikologis publik tak bakal terkaget-kaget
manakala harga BBM subsidi dinaikkan. Apalagi pemerintah juga sudah memberi
gambaran bahwa harga BBM subsidi ini bakal naik menjadi sekitar Rp 6.000 per
liter.
Tetapi kesiapan
mental masyarakat itu malah disia-siakan pemerintah. Dengan menunda keputusan
menaikkan harga BBM subsidi sampai DPR selesai membahas dan mengesahkan APBNP
2013, pemerintah malah seolah mendorong khalayak luas kepada ketidakpastian.
Itu pula yang membuat BBM belakangan ini mengalami kelangkaan, dan di sisi lain
harga aneka barang juga merambat naik.
Jadi, pemerintah
seharusnya membuang jauh-jauh sikap galau dan gamang menyangkut penaikan harga
BBM subsidi ini. Dalam konteks itu, Presiden sebagai pemimpin pemerintahan
mestinya penuh percaya diri dan tak menyia-nyiakan otoritas yang dimiliki:
mengambil keputusan.***
Jakarta, 1 Mei 2013