01 Mei 2013

Otoritas Tersia-sia


Kepastian tentang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi kian berlarut. Pemerintah urung mengambil keputusan pada Selasa lalu. Padahal, sebelumnya, pemerintah memberi sinyal kuat bahwa harga BBM subsidi dinaikkan efektif mulai awal Mei ini.

Namun alih-alih mengetuk palu, Selasa lalu pemerintah malah melempar bola kepada parlemen. Menurut pemerintah, harga BBM subsidi baru dinaikkan setelah DPR menyetujui rencana pemberian kompensasi bagi masyarakat miskin. Rencana tersebut diagendakan masuk pembahasan APBNP 2013.

Karena harus menunggu pengesahan APBNP 2013, jelas keputusan tentang penaikan harga BBM subsidi ini tak bisa diharapkan bisa diambil dalam waktu dekat. Pembahasan APBNP di DPR mustahil bisa kelar hanya dalam tempo satu-dua hari.

Kondisi berlarut itu niscaya makin berat lagi karena kalangan anggota DPR belum-belum sudah menunjukkan resistensi terhadap program kompensasi kenaikan harga BBM subsidi bagi masyarakat miskin. Mereka khawatir program tersebut menguntungkan partai pemerintah: meraih simpati rakyat menjelang Pemilu 2014.

Jadi, tindakan pemerintah melempar masalah penaikan harga BBM subsidi ini ke DPR lebih mencerminkan sikap bingung, galau, gamang, atau bahkan tidak percaya diri. Itu patut disesalkan -- dan sungguh mengesalkan. Melempar masalah ke DPR sama sekali tidak perlu dan tidak relevan.

Presiden seharusnya langsung mengambil keputusan tanpa harus berurusan dulu dengan parlemen. Toh, berbeda dengan tahun lalu, Presiden kini tidak tertelikung ketentuan perundangan dalam mengambil kebijakan mengenai penaikan harga BBM subsidi ini. Otoritas untuk itu kini sepenuhnya di tangan Presiden.

Tahun lalu, kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi tersandera UU APBNP. Kala itu, dalam rangka pembahasan APBNP 2012, DPR mempersyaratkan kondisi tertentu (harga minyak di pasar global) terpenuhi dulu sebelum pemerintah mengetukkan palu tentang itu. Syarat tersebut kemudian terbukti tak terpenuhi sampai akhir tahun anggaran, sehingga BBM subsidi pun urung dinaikkan.

Toh, seiring konsumsi yang terus naik dan harga minyak di pasar dunia yang kian menjulang, beban subsidi BBM terus membengkak. Jadi, pemerintah kini makin dihadapkan kepada kebutuhan menjaga APBN tidak berdarah-darah oleh beban subsidi BBM. Artinya, secara objektif pemerintah sudah sulit mengelaki penaikan harga BBM subsidi.

Karena itu, menjadi aneh bahwa pemerintah terkesankan tidak siap atau tidak percaya diri untuk mengambil keputusan menaikkan harga BBM subsidi ini. Terlebih opsi terbaik tentang itu sudah matang dibahas maupun disosialisasikan ke tengah khalayak luas.

Sosialisasi itu membuat khalayak luas boleh dikatakan sudah siap menghadapi penaikan harga BBM subsidi. Paling tidak, secara psikologis publik tak bakal terkaget-kaget manakala harga BBM subsidi dinaikkan. Apalagi pemerintah juga sudah memberi gambaran bahwa harga BBM subsidi ini bakal naik menjadi sekitar Rp 6.000 per liter.

Tetapi kesiapan mental masyarakat itu malah disia-siakan pemerintah. Dengan menunda keputusan menaikkan harga BBM subsidi sampai DPR selesai membahas dan mengesahkan APBNP 2013, pemerintah malah seolah mendorong khalayak luas kepada ketidakpastian. Itu pula yang membuat BBM belakangan ini mengalami kelangkaan, dan di sisi lain harga aneka barang juga merambat naik.

Jadi, pemerintah seharusnya membuang jauh-jauh sikap galau dan gamang menyangkut penaikan harga BBM subsidi ini. Dalam konteks itu, Presiden sebagai pemimpin pemerintahan mestinya penuh percaya diri dan tak menyia-nyiakan otoritas yang dimiliki: mengambil keputusan.***

Jakarta, 1 Mei 2013